39

1.7K 218 22
                                    

"Sial. Sial. Sial!"

Wanita itu memukul meja itu beberapa kali sampai wajahnya memerah menahan amarah serta telapak tangannya yang sedikit lecet akibat memukul.

"Jisoo!"

"Unnie..."

"Tenanglah Jisoo, lupakan semua. Masih banyak yang menyukai dirimu kau tinggal pilih mau aktris, pengusaha, pejabat bahkan mereka jauh dari di atas Taeyong."

"Hisk.. aku mau mau Taeyong," Jisoo memeluk Hejin manajernya.

Hejin menepuk pelan punggung Jisoo. "Unnie, aku harus balas dendam."

"Hah? Apa?"

"Iya, aku ingin memberi pelajaran pada Taeyong dan Jennie. Terlebih lagi Jennie, wanita itu selalu tidak tahu malu. Aku akan menunjuk dimana wanita itu pantasnya berada.."

"Jisoo, apa kau yang—?"

Jisoo mengangguk. "Iya. Aku yang menyebarkan foto itu. Itu aku saat di mansion Taeyong. Kebetulan Jennie bersama putranya." Tawa jahat Jisoo. "Ini hanya peringatan untuk Taeyong, karena  dia berani menolak ku dan malah memilih Jennie yang tidak ada bandingannya denganku. Bahkan aku lebih populer dari pada dia. Lihatlah satu negera tidak setuju Taeyong bersama Jennie." Jisoo menyerah ponselnya ke pada Manajernya, yang menampilkan komentar negatif kepada Jennie dan membela Jisoo.

"Jisoo, apa kau tahu akibat yang kau lakukan ini. Bagaimana kalau Taeyong tahu nantinya? Kau, kau bisa di jebloskan ke penjara Jisoo."

"Ini jadi rahasia kita. Jangan ada orang tahu hanya aku, unnie dan orang suruhan ku."

Hejin memijit pelipisnya. "Tindakan mu ini sangat ditentang negara Jisoo. Kau menyebarkan foto pribadi orang lain Jisoo. Itu privasi!"

"Unnie.. kau.. kau memarahi ku.. hisk!"

"Astaga bukan seperti itu.. kau tahu Taeyong orang seperti apa? Dia tidak akan tinggal diam. Apalagi wajah putranya terekspos!"

"Unnie..."

"Kau membuat kepala ku tambah pusing dengan masalah ini. Sudah kubilang jauhi saja Taeyong!"

"Kau tidak mengerti! Aku mencintai Taeyong. Dan Taeyong yang sudah membuat ku seperti ini dia juga harus merasakannya. Lagipula ini bukan apa-apa dibandingkan yang nanti. Ini hanya untuk Jennie, wanita sialan itu."

"Tapi.."

"Kau hanya perlu diam, biar aku yang melakukannya."



Pagi menyapa, Jennie terbangun dari tidurnya. Wanita mengerjap matanya beberapa kali. Semalam ia ingat, saat ia terbangun karena lapar untuk makan ia kembali tidur tapi tidak kembali ke kamar dimana ada Taeyong, Jennie memilih tidur di kamar Yongjin memeluk putranya itu. Dan kenapa ada Taeyong disini, dimana Yongjin?

Jennie melepaskan tangan Taeyong di atas perutnya. Wanita itu bangkit. Ia berjalan ke luar kamar. Saat menuruni tangan ia melihat beberapa pelayan seperti sibuk akan menyiapkan sesuatu.

"Mama!"

Yongjin menubruk Jennie dari arah belakang memeluk paha Jennie yang hanya sebatas tinggi bocah itu.

"Yongjin kenapa tidak membangun Mama, uhm?"

Yongjin tertawa. "Mama dan Papa masih tidur nyenyak?"

Jennie menghela napas pelan. Tetap saja kebiasaan saat dia tinggal berdua dengan putranya ia takut putranya melakukan hal yang mengancam nyawanya. Walaupun ia tahu disini banyak pelayan yang melihat Yongjin berbeda saat ia tinggal berdua. Tapi tetap saja perasaan ibu sangat mendominasi pada anaknya.

"Nona.." Miji menghampiri Jennie.

"Miji, ini ada apa, kenapa kalian seperti sangat sibuk sekali?"

"Oh, ini kami—"

"Jennie," Taeyong datang memanggil Jennie. Menghampiri Jennie yang sedang bersama Miji dan juga Yongjin. Miji yang melihat itu segera pamit pergi.

"Kau sudah bangun? Boy," Taeyong beralih pada Yongjin lalu mengangkat Yongjin ke dalam gendongannya.

"Papa." Yongjin memeluk leher Taeyong. Taeyong mencium pipi putranya itu yang sudah wangi oleh bedak.

"Kau sudah makan? Ayo sarapan dulu," ajak Taeyong sembari menyelipkan tangan di pinggang Jennie. Mengajak Jennie ke ruang makan. "Nanti akan aku jelaskan?" Lanjut Taeyong yang melihat wajah binggung Jennie.

Sesuai ucapan Taeyong tadi, pria itu mengajak Jennie kembali ke kamar dan menjelaskan semuanya.

"Ini satu-satunya cara Jennie. Maafkan aku. Tapi percayalah aku memang tulus menikahi mu bukan cuman karena masalah ini. Bahkan aku berniat untuk menikah mu setelah kakek pulang dari rumah sakit." Taeyong sesekali mencium telapak tangan Jennie dan mengusap lembut punggung tangan itu yang berada di wajahnya.

Iya. Taeyong menjelaskan berita yang menyeret dirinya, Jennie dan Yongjin. Taeyong melarang Jennie untuk membuka ponselnya. Ujaran kebencian dan cacian banyak di tujukan kepada Jennie. Taeyong tahu Jennie tidak sanggup melihatnya, ia bukan sebagai Jennie saja sakit hati apalagi Jennie.

Memang sejak sakit dendam Jennie sudah tidak memegang ponselnya. Alasan ia tidak sempat, bahkan untuk berkabar dengan Somi dan Lisa saja sudah tidak lagi.

"Jennie... Kau tidak setuju dengan rencana ku?" Taeyong bertanya pelan. Karena sedari tadi Jennie hanya diam. Posisi Taeyong saat ini adalah ia duduk berlutut memegang tangan Jennie yang sedang duduk di atas kasur.

"A-aku.."Jennie menghela napas buncah. "Aku ingin istirahat sebentar." Jennie melepaskan tangannya.

"Jennie, aku minta maaf dulu aku menyakitimu tapi aku benar serius untuk ini."

Napas Jennie memburu, bayangan orang-orang yang menghina bahan mengolok-olok nya saat ia di nyatakan hamil dulu tiba-tiba datang begitu saja. Dadanya sangat sesak sekarang. Sakit sekali. Dan sekarang keadaan itu terulang kembali.

"Jennie.."

Jennie memejamkan matanya. Tanpa sadar cairan bening itu keluar, "Jennie kau kenapa?" Taeyong panik ia segera membawa Jennie kepelukannya.

"Jennie,"

"Tolong tinggalkan aku sebentar," ucap Jennie tanpa suara. Taeyong yang panik tanpa sadar malah berteriak membuat beberapa pelayan datang menghampiri kamar mereka. Hal itu malah membuat perasaan Jennie kiat memburuk dan jatuh pingsan.



"Bagaimana?"

Johnny menatap Taeyong sebentar lalu melepaskan Stetoskop milikinya. "Kurasa dia mengalami trauma hebat. Sebaiknya ku saran kau untuk memeriksanya."

"Maksudmu?"

"Iya, kondisi seperti ini seperti mengalami trauma. Untuk lebih jelasnya kau coba untuk periksa sendiri. Ada nada ketakutan saat kau membahas masalah yang berhubungan dengan traumanya. Bahkan dia bisa gelisah berkepanjangan. Jika iya dia punya trauma Taeyong. Dan ku sarankan untuk sekarang lebih baik fokus pada kandungannya dulu."

"Kandungan?"

"Iya, Jennie sedang hamil muda. Traumanya bisa membunuh anak kalian karena hamil muda itu sangat rawan sekali." Taeyong senang tapi di satu sisi ia khawatir dengan keadaan Jennie.

"Iya. Aku akan menjaganya. Tapi John, aku hanya membahas pernikahan kami tiba-tiba dia seperti itu dan bilang untuk pergi meninggalkan sebentar ia ingin istirahat."

"Serius." Taeyong mengangguk. "Berarti traumanya adalah menikah, kau yang sabar."

"Tidak mungkin. Jennie bahkan belum pernah menikah." Sanggah Taeyong tidak setuju dengan ucapan Johnny tadi.

"Trauma menikah bukan hanya dia pernah mengalami menikah, dude." Taeyong terdiam. Johnny menepuk pundak Taeyong. "Aku sudah memberikan obat untuk Jennie, jangan lupa berikan ia obat setelah bangun nanti. Itu ada beberapa vitamin untuk kandungan."

—to be continued.

Maunya cuman 40 part tapi kayanya lebih deh.. gppkan?

Unbearable Heartache  [ Lty×Kjn ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang