10. Keputusan

48 9 0
                                    

Jeffin berjingkat karena mendengar suara pintu ruangan Naya terbuka. Ternyata dokter yang menangani Naya tadi sudah keluar. "Jadi gimana keadaan teman saya, Dok?" tanya Jeffin tak sabar ingin mengetahui kondisi Naya.

"Syukur, teman kamu baik-baik saja. Ia pingsan karena kelelahan saja. Janinnya juga baik-baik saja. Akan saya resepkan obat penguat janin supaya tidak pingsan seperti ini lagi." Jelas dokter.

Pupil mata Jeffin melebar seketika. Pernafasannya tiba-tiba tercekat. "Janin? Maksudnya Naya hamil?" batinnya bertanya-tanya. Tapi Jeffin tidak berani bertanya kepada dokter. "Baik, Dok. Terimakasih banyak," ucap Jeffin berusaha tenang.

Sepeninggalan dokter, Jeffin langsung masuk untuk melihat keadaan Naya. Rasa bersalah menyeruak di hatinya sekarang. Sakit melihat Naya terbujur lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Naya sangat pucat, tapi Naya terlihat damai dalam tidurnya.

Berbagai pertanyaan muncul di benak Jeffin. Sejak kapan Naya hamil? Kenapa Naya tidak mau memberitahukan semuanya padanya? Apa saat kejadian ia berkelahi dengan Yuan, Naya mengalami pendarahan karena kehamilannya? Jeffin merasa menjadi manusia paling tidak berguna di muka bumi ini.

Jeffin menarik kursi di samping ranjang Naya perlahan. Duduk sangat dekat dengan ranjang Naya. Mengusap punggung tangan Naya yang sudah terpasang infus. Menatap sendu perempuan yang masih menutup mata tidak sadarkan diri itu. Beberapa menit memperhatikan Naya, air mata Jeffin akhirnya lolos.

"Nay, kenapa lo gak cerita sama gue? Apa gue gak berhak tahu? Apa gue terlalu gak berguna buat lo, Nay?" lirih Jeffin.

"Gue bener-bener minta maaf, Nay. Gue selalu berusaha buat ada di samping lo, tapi gue gak tahu kalau lo hamil. Gue minta maaf, Nay." Ucapan yang melemah itu kemudian berubah menjadi sebuah isakan. Jeffin menunduk. Tidak sanggup lagi melihat Naya. Air matanya mengalir. Menetes ke lantai rumah sakit yang sunyi itu.

Tiba-tiba Jeffin merasakannya seperti ada tangan yang mengusap lemah kepalanya. Jeffin mendongakkan kepala. Ia mendapati Naya sudah sadar dari tidurnya.

"Nay..." Lagi-lagi air mata Jeffin lolos dari ujung matanya.

Tangan Naya yang tadi mengusap kepala Jeffin, berpindah ke tangan Jeffin. Menuntun tangan Jeffin ke atas perutnya. "Jeff, katanya anak ini gak mau lihat papahnya nangis," ucap Naya lemah. Berusaha menghibur Jeffin.

Naya menuntun tangan Jeffin mengusap perut pelan. "Jeff, anak ini kuat. Gak cengeng. Masa papahnya cengeng," sambungnya. Jeffin menunduk. Ia sangat malu pada dirinya sendiri.

"Jeff, udah... Jangan nangis terus..."

"Maaf, Nay... Aku bener-bener minta maaf... Aku gak tahu diri banget, sampai gak peka tentang semuanya..."

"Ini bukan salah kamu, Jeff. Aku yang salah. Aku minta maaf. Aku waktu itu belum siap kasih tahu kamu semuanya. Maaf ya, Jeff."

"Jadi kamu udah tahu sejak kapan, Nay?"

Naya menceritakan kembali kejadian satu bulan yang lalu di apartemen Jeffin. Dimana ia mengacak-ngacak apartemen Jeffin. Menyuruh Jeffin banyak hal. Naya juga menceritakan paket yang Jeffin terima adalah testpack. Saat di apartemen Jeffin pula, Naya tahu kalau dirinya hamil. Karena syok mau berbuat apa, Naya pergi begitu saja hari itu.

"Jadi, yang waktu aku berantem sama Yuan..."

"Iya waktu itu kata Tante Dira aku pendarahan ringan. Maaf ya, lagi-lagi aku masuk RS karena kecapean olimpiade..."

"Ya ampun, Nay. Kamu gak berhak minta maaf. Aku yang harusnya minta maaf. Gak bisa jaga kamu dan anak ini dengan baik."

"Aku udah maafin kamu kok, Jeff"

YOU CAN TRUST METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang