Tanya hanya bisa terdiam seiring senyumannya yang mulai memudar, tubuhnya seolah membeku di tambah cuaca dingin dan gelap yang hanya diterangi cahaya lilin. Mungkin wajah Tanya yang memiliki ekspresi datar serta ketus dapat menyembunyikan keterkejutannya dari pertanyaan Don barusan, kepalanya memikirkan berbagai macam alasan agar kenyataan tersebut tetap tersembunyi dengan rapat di dalam dadanya.
"Oh, aku ingin bicara. Tapi aku khawatir hal itu akan menyinggungmu setelah kau berbicara seperti itu." Bohong Tanya.
"Memangnya apa yang bisa menyinggungku?" Balas Don kembali bertanya.
"Ehm, sebenarnya... aku ingin agar kau berhenti membuntutiku, Don! Aku tahu hal itu terlalu kasar untuk diungkapkan, tapi semua yang telah kau lakukan membuatku merasa tidak nyaman dan tertekan." Tanya kembali berbohong.Don lagi yang terdiam kali ini, terlihat berpikir keras dan Tanya berharap pria itu dapat memakluminya tanpa memasukannya ke dalam hati. Jiwa keras dan bebas seperti Don tidak dapat dilawan dengan kekerasan pula, Tanya harus bersikap tenang dan berbicara dengan kalimat baik serta nada yang pelan agar pria itu dapat mengerti.
"Yang ku lakukan membuatmu merasa tak nyaman?" Tanya Don lagi, wanita itu mengangguk seraya menunjukan wajah penuh harap kepada Don agar mau melakukan permintaannya. Memang tidak mudah untuk membujuk seorang Submissive yang terlalu patuh dan loyal kepada mantan Domme-nya.
"Kau tahu, kau telah membuat seisi bangunan kantor ketakutan karena mereka pikir tempat mereka bekerja telah dibobol oleh seorang perampok. Kau telah membuat semua orang takut, Don! Bukan hanya aku saja." Tukas Tanya berusaha meyakinkan.
"Dan Irina, wanita itu selalu khawatir kepadaku. Aku tidak ingin selalu merepotkannya ketika ia harus bolak-balik ke New York dan Los Angeles hanya karena aku.'Don melihat ke arah wajah Tanya, menilai seolah tak ada kebohongan di sana. Hanya ada sebuah ketulusan yang Don lihat dan ia yakin wanita itu sudah lelah dengan semua ini, "baiklah, Miss. Maafkan aku sempat mengganggumu! Aku hanya belum bisa menerima ketika kau meninggalkanku."
"Tapi kini aku tahu alasannya, dan aku bisa merelakan hal yang sudah menjadi keputusanmu sejak lama." Kata Don, bagai angin segar menerpa wajah Tanya. Akhirnya yang ia tunggu dan harapkan kini terjadi juga, walau dengan sedikit bumbu kebohongan dan seribu alasan untuk meyakinkan pria itu.
Tanya tersenyum manis walau ia tahu yang ia tunjukan kepada Don itu adalah senyuman palsu, ia bersikap demikian bukan karena tanpa alasan. Tapi karena memang sudah seharusnya mereka tak bersatu lagi, karena memang ada banyak hal yang bertentangan dengan prinsip Tanya. Ia lebih baik menyimpan perasaan itu rapat-rapat dari pada mengeluarkannya dan akan menambah masalah.
"Jadi, maukah kau berteman denganku? Apakah itu cukup?" Ujar Tanya, jemarinya meraih jemari Don yang dingin tergeletak di atas meja. Jemari Don kini terasa menghangat karena sentuhan wanita itu dan ia merasa nyaman karenanya, walau sayang kini Don harus merelakan sentuhan hangat itu.
"Iya, Miss. Aku menerimanya." Sahut Don, senyum kemenangan kini terukir indah di wajah cantik Tanya. Ia kembali menarik tangannya yang berada di atas tangan Don seketika membuat pria itu mengernyit heran.
"Lagi pula, kau adalah bos di tempatku bekerja. Bukan teman, tapi seorang bos." Sambung Don.Kedua tangan Tanya bersidekap di depan dada, "well, kalau begitu kau harus menunjukan rasa hormat kepada bosmu ini." Kata Tanya dengan nada suara bercanda yang akhirnya berhasil membuat mereka berdua tertawa, canda tawa yang sudah lama tak Tanya rasakan ternyata masih sehangat dulu. Tawa renyah serta suara bariton yang tertawa itu nampak menggoda iman Tanya.
Walau ia harus menampik semua hal itu dan kembali kepada keseriusannya dalam bekerja serta hidup mandiri, Tanya sedang memulihkan diri dan perasaan. Ia berharap ini adalah awal yang baik akan kehidupannya dan juga kehidupan pria itu, mungkin kelak Don akan menemukan seorang Domme atau wanita yang akan menjadi calon istrinya.