19

3.7K 393 24
                                    

Pertemuan dengan Tama sudah tak lagi membekas pada ingatan Mahesa dan Hana. Baru Hana ketahui juga, rupanya Tama adalah mantan rekan kerja mempelai wanita. Itu dia ketahui dari Renata yang dalam sekejap temukan segala informasi, alasan Tama berada di Jogja.

Kehidupan pasangan kekasih itu kembali normal. Atau mungkin tak senormal biasanya, sebab mereka mulai sibuk soal lamaran. Di sela kesibukan Mahesa, pria itu berusaha berkomunikasi dengan bundanya untuk bantu siapkan seserahan yang Hana minta. Untung ada Jovita sang adik ipar yang rajin sekali mengupdate kabar soal seserahannya.

Tanggal pertemuannya sudah ditentukan, keluarganya sudah dikabari bahwa akan ada kabar bahagia lagi dari keluarga Jefri. Besok pagi, pria itu akan bawa keluarganya menuju rumah eyang Hana. Sudah larut malam, namun Mahesa tak kunjung bisa pejamkan matanya.

Pria itu menghela nafasnya kasar. Ia beranjak dari kasurnya, memilih keluar kamar mencoba temukan rasa kantuknya. Niatnya mau ke dapur untuk minum susu, katanya sih susu sebelum tidur sangat membantu memancing rasa kantuk. Namun suara berisik dari dapur buat Mahesa was-was. Masa kemalingan sih?

Tubuh tegap Janu ia temukan tengah sibuk melakukan sesuatu di dapur.

"Jan? Ngapain?" Janu membalik badannya.

"Bikinin susu buat Rara. Nangis dia kebangun." Mahesa menyandarkan tubuhnya pada pantry dapur bundanya. Ya, dia berada di rumah bundanya. Sebab menurut Jefri, tak baik kalau mereka berangkat sendiri-sendiri. Akan lebih mudah kalau mereka dalam satu rumah yang sama.

"Susah tidur mas?" Mahes mengangguk.

"Dulu waktu mau lamaran aku juga begitu. Deg-degan karena keluarga besar akan tahu juga kalo kita mau nikah. Paksain tidur Mas, biar besok keliatan fresh. Masa calon pengantin mukanya muka bantal. Aku masuk dulu, takut si bocil keburu haus." Janu kembali ke kamarnya tinggalkan Mahesa yang masih tampak segar.

Lelaki itu kini kembali ke kamarnya, berusaha pejamkan matanya meskipun berkali-kali terbuka terus. Tidurnya makin sulit saat teleponnya malah berdering keras. Bibirnya tertarik membentuk garis lengkung lebar.

"Mas masih belum tidur?"

"Susah tidur, aku kayanya nervous sama lamaran besok." Suara kekehan dari seberang memancing senyuman Mahesa lagi.

"Mau dengar sesuatu yang bisa bikin ngantuk?"

"Boleh, aku sama merem ya?"

"Iya Mas." Mahesa menutup kedua matanya sambil menanti hal apa yang Hana lakukan. Suara lembut gadis itu kembali menyapa telinga Mahesa. Memanjakannya dengan nyanyian Can't Help Falling in love.

"Take my hand, take my whole life too. Cause I Can't Help to falling in love with you—" suara dengkuran halus menghentikan nyanyian Hana. Gadis itu terkekeh, lalu kembali pejamkan matanya. Kedua anak manusia itu akhirnya terlelap dalam tidurnya masing-masing. Mahesa tak bermimpi sama sekali, mungkin Tuhan tahu dia benar-benar butuh malam yang tenang.

Sinar matahari perlahan masuk melalui celah-celah jendela Mahesa. Pria itu menggeliat dari tidurnya, sadari bahwa pagi sudah datang. Telinganya mendengar suara jeritan gadis cilik, Rara keponakan kecilnya. Ia meregangkan tubuhnya merasakan remuk sebab posisi tidur yang tak nyaman, namun anehnya dia tak terusik sama sekali hingga pagi. Apa karena nyanyian Hana? Entah, namun jelasnya pria itu kini tampak panik. Ia bergegas bangun, menuju kamar mandi membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena lupa menyalakan kipas angin.

Sementara di luar, sang Ibu tampak sibuk memastikan seserahan yang akan dibawa ke rumah mempelai wanita sudah siap. Dibantu Jovita, menantu dari si bungsu yang mulai memasuk-masukkan barang itu ke dalam mobil yang akan mereka kendarai.

Thick As ThievesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang