10

4.7K 430 26
                                    

"Ma Hana di rumah aja lah, mama sama papa aja yang berangkat." Rengek gadis itu yang masih enggan mengganti pakaiannya.

Chitra menghela nafas kasar. "Mau ngapain kamu di rumah sendiri? Ini acara sampai malam lo, nanti Eyang nanya kamu dimana papa sama mama jawabnya apa?" Hana mengerucutkan bibirnya.

Sudah seminggu sejak ia bertemu Tama. Seharusnya hari itu adalah hari bahagianya. Batalnya pernikahan Hana sudah diketahui banyak orang, bahkan beberapa kawannya berusaha menghibur Hana dengan mengajaknya jalan. Tak ada yang berhasil, kecuali Mahesa.

"Aneh ma aku datang ke acara keluarga dimana seharusnya hari ini aku menikah." Tak bohong, sakit hatinya Hana masih berada di puncak. Tak menurun sedikit pun.

"Mereka sudah mengerti Han, mereka tahu siapa yang kurang ajar disini. Gak ada yang menyalahkan kamu sama sekali." Gadis itu mendesah tertahan.

"Ma bukan masalah itu, aku malu ma. Sangat malu, pasti nanti ada saja yang tanya kenapa batal. Terus mereka mengasihani aku. Aku gak mau ma seperti itu." Jelasnya.

"Jangan dipaksa ma. Kita berangkat berdua saja. Biar Hana berdamai dulu dengan keadaan. Kamu tahu kan kalau ini gak mudah untuk Hana dan kita?" Ucap Johan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar putrinya. Hana menundukkan kepalanya, buat Chitra merasa bersalah memaksakan anak itu untuk datang ke acara keluarga.

"Sudah ma ayo kita berangkat saja. Gak enak sama Ibu, acara dadakan begini biasanya banyak yang belum dikerjakan." Chitra mengangguk tak lagi memaksa Hana untuk pergi.

"Maaf ya Han?" Hana mengangguk tersenyum tipis. Ia hanya mengantar orangtuanya sampai depan pintu rumah, setelahnya ia kunci dan kembali ke dalam.

Gadis itu hanya duduk di depan televisi yang menampilkan acara memasak. Ia jadi menyesali keputusannya untuk  tak ikut Diana ke Semarang selama beberapa hari tuk merefresh pikirannya.
Ia jadi makin menyesal ketika sadar bahwa kini ada tanggungan lain yang harus ia lakukan, yaitu mencari pekerjaan. Sungguh Hana makin benci dengan Tama, ia tak hanya kehilangan muka tapi juga pekerjaan. Seharusnya, seharusnya dan seharusnya adalah kata yang Hana ucapkan terus menerus tiap kali sesali segala keputusannya dulu untuk Tama.

Hidupnya seolah dimulai dari awal lagi, segala cita-citanya seolah dibawa runtuh bersama gagalnya pernikahannya. Apa yang harus ia lakukan saat satu anak tangganya hancur untuk bisa capai rencana di masa depannya? Sementara di sisi kanan dan kirinya adalah jurang. Ia kini hanya bisa berdiri berhenti pada satu anak tangga.

Helaan nafas frustasi kembali bergema di ruangan keluarga rumah Johan. Entah yang ke berapa sebab sepertinya Hana terus melakukannya. Lelah meratapi nasib ia akan bangun ke dapur makan apapun yang ada, lalu kembali ke atas sofa menonton apapun yang menurutnya asik. Sepertinya aktivitasnya hanya begitu. Ponsel pun tak menarik untuknya, sebab isi sosial medianya banyak yang menanyakan alasan gagalnya pernikahannya itu.

Beruntungnya siang itu ada tontonan yang menarik untuk Hana. Film animasi dari Disney yang cukup menghibur waktu sepinya. Namun ketukan pintu rumahnya membuat ia harus rela tertinggal beberapa menit pada film yang sedang ia tonton.

Ketukannya kembali terdengar, Hana berjalan cepat untuk membukakan pintu untuk tamunya siang itu.

"Siap—" Matanya membulat kaget melihat wajah yang sudah berminggu-minggu memusuhinya sebagai seorang kawan.

"Renata!" Gadis itu tersenyum lebar sambil mengangkat plastik yang Hana yakini berisi makanan.

"Han ini berat, biarin aku masuk dulu bisa?" Hana mengangguk menggeser tubuhnya biarkan Renata masuk ke dalam rumah. Hana mengekorinya dari belakang setelah mengunci pintu rumahnya lagi. Renata tampak duduk santai di atas sofa ruang keluarga.

Thick As ThievesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang