6

3.4K 402 85
                                    

Kebiasaan buruk Hana adalah menggigit kukunya di saat gugup. Ia menatap layar ponselnya nanar. Barusan dapat kabar dari Tama, bahwa pria itu bisa ke Jogja tiga hari lagi. Artinya seminggu sebelum acara. Hana mengintip papanya yang tengah mengobrol dengan cucunya. Pria itu tampak  asik menyimak cerita hari-hari cucunya, sebagai murid taman kanak-kanak. Senyumnya lebar sangat bahagia, pun Chitra yang juga ikut tertawa kala cucunya dari si sulung kesulitan mengingat nama beberapa gurunya.

Biasanya, Hana akan ikut bergabung dengan orangtuanya. Menggoda si bocah laki-laki aktif yang akan jadi super pemalu di depan orang baru. Namanya Aiden. Kalau kata bapaknya, Aiden itu jago kandang.

Rasa ragu benar-benar bersarang di hati si gadis. Bukankah ia akan sangat jahat dengan merusak kebahagiaan kedua tetua itu? Gadis itu akhirnya memilih untuk membicarakannya nanti jika Aiden sudah selesai menghibur kakek neneknya. Hana berjalan menghampiri kedua orangtuanya, berusaha tak segugup mungkin. Ia duduk di seberang kedua orangtuanya, hanya mendengarkan percakapan kakek nenek dengan cucu kesayangannya.

"Coba kasih lihat akung gimana itu tepuk selamat datang." Suara Diana, istri dari kakak Hana terdengar membujuk si kecil yang mulai malas mengobrol. Bocah itu asik lari-larian mengejar anak anjing yang baru jadi sahabatnya.

"Coba akung mau lihat gimana sih tepuk selamat datangnya." Ucap Johan disertai kekehan melihat cucunya yang bergerak kesana-kemari.

"Eh, Mas Aiden itu loh akungnya mau lihat."

"Haha sudah gak apa-apa, Hendra belum pulang kerja nak?" Tanya Johan.

"Iya Pa, katanya ada kerjaan sampai malam. Mungkin jam 9 baru pulang."

"Sering dia begitu Mbak?" Tanya Chitra.

"Nggak kok Ma, kalau memang perusahaan mau kirim barang aja keluar. Mas Hendra kan penanggung jawabnya, jadi harus selalu ada."

"Ya sudah, sehat-sehat ya kalian. Mama titip Aiden sama Hendra ya Mbak? Kalo lembur terus marahin aja, kasihan lo kamu perempuan sendirian di rumah sampai malam," ucap Chitra menambahi.

"Iya ma aman kok. Oh iya semalem Mas Hendra bilang kita ke Jogja besok malam ya Ma Pa. Tadinya mau sabtu pas Mas Hendra libur, tapi kan kata mama lusa sudah mulai belanja buat keperluan masak-masak di rumah, kan?" Hana menoleh pada mamanya.

"Iya nih, kemarin sih mama udah telepon Bude Endar buat bantuin masak-masak. Sama tetangga nanti juga mau bantuin. Kalau belanjanya H-1 sebelum masak takutnya keburu-buru, nanti ada yang kurang lah atau bagaimana. Mama soalnya pasti gak akan bisa keluar lagi ke pasar, nanti siapa yang nungguin dan bantu yang masak? Adikmu juga jelas gak akan boleh keluar rumah sama Eyang." Hana mendelik.

"Eyang kesini juga ma waktu masak?"

"Lah ya jelas, yang paham harus masak apanya kan Eyang. Mama gak tahu detailnya apa aja." Gadis itu tertunduk lesu.

Dari awal Hana sudah kurang setuju diadakan acara juga di rumah, tapi kata mamanya acara di rumah itu harus dilakukan. Untuk memberi tahu tetangga sekitar, bahwa keluarga mereka akan ada hajatan. Lagipula dari segala prosesi adat Jawa yang orangtua Hana mau, banyak yang mereka lewatkan. Tak ada acara pasang tratag dan tarub, siraman, malam midodaren, dan segala runtutan acara yang biasanya akan dilakukan turun-temurun oleh keluarga bersuku Jawa. Salah satu alasan yang buat Johan kecewa dengan Tama, pria itu sama sekali tak arahkan Hana untuk tetap ingat pada adat istiadatnya. Hana mau mengikuti segala prosesi itu, tapi Tama menolak sebab dirasa akan memakan banyak waktu dan gadis itu cuma menurut.

"Kalau repot gak usah saja ma. Nanti mama malah capek." Jawab Hana. Johan hela nafasnya kasar, tatapannya menajam.

"Han, kalau memang gak ada acara prosesi yang sesuai tata cara adat, setidaknya biarkan papa dan mama kasih ini untuk kamu. Biar kami yang umumkan kalau putri bungsu kami ini sudah berkeluarga. Papa dari kemarin gak membantu kamu sama sekali urusan biaya pernikahan, ya setidaknya ini yang bisa kami kasih untuk kamu yang terakhir kali. Tanggungjawab kami sebagai orang tua, sebelum kamu jadi tanggungjawab suamimu." Johan berdiri memilih menyudahi obrolannya dengan cucu dan anak mantunya, tinggalkan Chitra dan Hana yang masih duduk terdiam di ruang keluarga. Hana ikut berdiri, lalu masuk ke kamar.

Thick As ThievesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang