21

3.3K 339 26
                                    

Mahesa turuti permintaan ayahnya untuk kunjungi eyang dari pihak ayah. Dia tak terlalu klop dengan wanita tua itu karena terkenal bawel, sedangkan eyang kakungnya adalah pria yang pendiam. Sulit untuk Mahesa dekat dengan keduanya. Salah satu yang buat Mahesa malas menemui kakek nenek dari ayahnya itu juga karena kakak dari ayahnya yang suka berkomentar soal hidup orang lain. Sepertinya pada setiap keluarga selalu ada orang semacam itu.

Hana yang tampak lebih tenang, sepanjang jalan gadis itu terus bercerita untuk kurangi kegugupan Mahesa. Pria itu malas sekali harus mendengar komentar dari saudara-saudaranya. Sayang sekali hari itu ayah dan bundanya tak dapat turut serta.

"Sayang kalau saudara atau eyangku ngomong hal yang gak ngenakin hati tolong jangan didengerin ya?" Hana terkekeh. Ini kesekian kalinya Mahesa mengucapkan hal itu.

"Iya Mas, aku tutup kuping deh nanti."

"Aku takut banget mereka ngomong yang aneh-aneh. Nanti bikin kamu sedih." Gadis itu tersenyum lebar.

"Jangan takut, kalo kamu takut nanti aku gimana? Sama-sama takut dong." Mahesa melirik kekasihnya sekilas.

"Kamu takut?" Ragu-ragu Hana anggukan kepalanya.

Bukan tanpa alasan gadis itu merasa takut, meski sejak tadi tampak begitu tenang. Jovita ceritakan pengalamannya dengan keluarga dari ayah mertuanya. Katanya para sepupu Jefri itu orang yang banyak menilai. Mau sebaik apapun pasti akan dicari cacatnya. Jovita buktinya, gadis itu selalu disindir soal ketidakpiawaiannya memasak. Habis Jovita kena ceramah mulai dari eyang putri sampai wanita termuda dalam keluarga tersebut. Kok bisa wanita muda menceramahi Jovita? Tidak secara langsung sih, gadis itu sampaikan sindiran halus lewat ucapan berkedok saran. Nyatanya mulut manis itu benar-benar lukai perasaan Jovita hingga gadis itu enggan ikut acara keluarga selama sebulan penuh. Tentu itu juga jadi sorotan lagi, katanya Jovita tak hargai keluarga suaminya. Bagaimana bisa Jovita hargai kalau dirinya sebagai cucu mantu saja juga tak dihargai?

Berbagai saran dari Jovita sudah Hana kantongi. Ia pun telah bertanya pada mamanya, bagaimana atasi keluarga kekasih yang rewel. Tinggal eksekusi, selama ada Mahesa di sampingnya Hana rasa semua akan baik-baik saja.

Sayang sekeras apapun Hana coba kuatkan mentalnya, nyalinya kian ciut saat Mahesa bilang kurang dari 100 meter mereka akan sampai. Gadis itu mulai keringat dingin, tangannya saling mencengkeram satu sama lain. Matanya menangkap Seorang pria paruh baya yang tampak berdiri di teras, menyemproti burung dalam kandangnya sambil bersiul. Mahesa memelankan laju kendaraannya dan mulai meluruskan mobilnya di pelataran rumah eyangnya.

“Aku gak siap deh.” Mahesa melepas seatbeltnya, kemudian menoleh ke arah kekasihnya. Tangannya terulur mengelus pundak kekasihnya perlahan.

"Aku pun sama, tapi rasa takutnya dibagi ya sayang? Kita hadapi sama-sama. Aku akan belain kamu kalau mereka keterlaluan." Ucapan Mahesa kali ini sama sekali tak tenangkan Hana. Seberapa kejamnya sih mulut orang-orang tua itu hingga Mahesa sudah bersiap untuk menentang yang lebih tua?

Namun sampai tangan Hana digenggam di depan pria tua itu Hana masih terus berpikir dan bersiap. Kira-kira hal apa yang akan mereka tanyakan atau yang akan mereka minta Hana tuk lakukan? Otaknya sama sekali tak bisa dapatkan jawabannya. Bibirnya terus tersenyum lebar coba pikat eyang kakung dengan senyuman manisnya. Tak ada yang bisa menolak pesona Hana.

Nihil, pria tua itu malah mengerutkan keningnya.

"Koe sopo?"

("Kamu siapa?")

Hana melirik Mahesa kebingungan, Mahes terkekeh.

"Eyang udah pikun, kayanya lupa sama aku juga." Hana membulatkan bibirnya.

Thick As ThievesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang