1. 버스 안은 압박감이 가득하다

135 18 62
                                    

Insecure terbesarku adalah saat tahu aku gadis terakhir yang didekati setelah mereka ditolak oleh teman-temanku.

Aku menatap kelopak bunga yang jatuh berirama mengikuti alunan angin, harusnya momen tersebut menjadikan hari yang paling kuingat dalam sejarah masa percintaanku tapi anehnya dunia berkata sebaliknya, mungkin waktu itu bukan diciptakan untukku melainkan untuk orang lain. Dengan nanar aku menatap ponselku yang berwarna pink : mirip bunga yang jatuh di atas layar benda pipihku. Disana tertulis 'Save dari Ahn Aj-i'.

Kalau memang seandainya ada dunia milikku sendiri aku ingin menjadikan tokoh utamanya adalah aku, sehingga aku bisa membuat diriku bahagia dengan cara yang tidak terduga seperti sekarang ini. Namun, aku hanya manusia yang ikut serta dalam permainan dunia.

"Ayana!" Nampak seorang lelaki bertubuh tinggi dengan wajah datar menyerukan namaku, dia berdiri tidak jauh dari tempat pijakanku. Terlihat ada raut kesal mungkin sudah lama menunggu di halte_tempat kami berangkat ke sekolah bersama, Yang terpikirkan olehku harusnya dia senang, toh_ dia di kelilingi banyak gadis cantik, untuk apa dia ikut serta menunggu orang seperti aku yang tidak ada bagus-bagusnya ini.

Langkahku ku percepat bersamaan dengan bus yang tiba, ujung-ujungnya laki-laki itu yang bernama Choi Ma-da lebih dulu masuk bersama circle barunya.

Aku sengaja duduk di samping jendela untuk menghilangkan rasa gerah yang menghampiri, aku mulai memikirkan kejadian yang membuat Mada menjadi seperti sekarang. Sampai rasanya ingin saja aku menghilang dari dunia. Dalam hati aku terus merutuki diri, kenapa harus mengikuti camping minggu itu. Kalau bukan Lisa yang mengajak pasti aku tidak akan ikut. Kalau saja Lisa tidak mengajak aku pasti tidak akan di chat oleh Aji. Kalau Lisa tidak mengajak aku tidak perlu merasa jelek sebagai perempuan. Rasanya aku seperti badut di mana pun aku berada. Yah memang, terkadang kamu harus terlibat dalam satu hal untuk menyenangkan orang lain.

Bus mengerem mendadak membuat penumpang mengeluarkan keluh kesahnya, aku ikut turun saat melihat sekolahku berada tak jauh dari halte. Selang dari itu aku bangkit dan terdiam sesaat menoleh ke arah Mada yang sibuk membalas lelucon gadis-gadis itu, Tak menunggu dia, aku lebih dulu berjalan keluar dan berlari sebelum pintu gerbang di tutup.

***

Hari-hariku biasa saja, aku sebagai murid pelengkap dan tidak terkenal, tidak punya bakat yang dapat di lirik orang-orang, motto hidupku hanyalah untuk terus bertahan sampai kiamat tiba. Aku tidak tahu sejak kapan aku tidak peduli pada diriku sendiri, sejak kapan aku mengubah diriku menjadi orang yang tidak berperasaan, semua itu bermula sebelum aku pindah di kota besar_tempat ayahku tinggal. Suasana yang berbeda membuatku tak bisa membedakan mana yang benar-benar peduli padaku dan hanya pura-pura. Aku juga belum pernah mendapatkan senyum smirk atau senyum meremehkan dari tempat ku tinggali sebelumnya. Dari sana aku belajar banyak hal, aku harus tahu bahwa sebenarnya ada sesuatu hal yang harus ku gali lagi.

Hingga aku bertemu dengan Choi Ma-da, satu-satunya orang yang kuanggap Kompas dalam hidupku. Ayahku meminta laki-laki itu untuk menjadi temanku dan memberitahukan apa yang tidak ku ketahui mengenai lingkungan dan sekolah baruku. Meski awalnya aku tidak yakin tapi melihat Mada yang membawaku pergi kemana saja membuatku sedikit legah, dan berpikir dia orang yang cuek tapi perhatian.

Saat itu aku sadar kalau aku menyukainya, miris sekali.

Selama pelajaran aku tidak memperhatikan sampai bel istirahat berbunyi. Aku keluar dan mulai berbaur dengan teman-teman yang lain. Kami ber empat duduk dekat lapangan bola sambil ngemut lolipop pemberian Jung Re-na. Aku dan Yun Li-sa duduk di bawah kursi sambil menyilangkan kaki, di sana masih ada rerumputan hijau hingga kami bisa duduk dengan tenang tanpa perlu kena cacingan. Sedangkan Jung Re-na dan Kang Bo-ni duduk di kursi dengan mulut setengah terbuka karena asik melihat cogan-cogan kelas sepuluh.

"Apa kita harus seperti ini?" Cicitku dan mulai kepanasan, matahari juga mendukung. Dia bersinar tepat dihadapanku.

Aku mulai mengangkat tangan dan menutupi sebelah mataku dengan bulir keringat yang terus jatuh di pipi.

"Eh kak Mada!" seru Yun Li-sa kegirangan sambil menepuk bahuku senang. Jantungku langsung berdegup kencang. Aku menoleh, bukanya melihat Choi Ma-da tetanggaku yang sangat kusukai, yang ada aku mendapati ketiak ku yang basah.

"Anjir!" Geramku tanpa sadar, dan itu pun aku refleks berdiri. Semua mata tertuju padaku termasuk ketiga temanku. Aku menyadari hal itu dan mulai merasa kikuk.

"Panas! Mau cari minum dulu!" ujarku menjelaskan sambil cengengesan kepada ketiganya dan akhirnya mereka hanya melambaikan tangan.

Aku berjalan memasuki toilet, aku berdiri menatap diriku di pantulan cermin, disana aku melihat keringat berwarna kekuning-kuningan yang menjengkelkan melengket.

"Sial!!!!" geramku dalam hati.

Rasa malu mulai menyelimuti, aku bahkan rela tidak menonton pertandingan Choi Ma-da hanya demi basket (basah ketek).

Hari itu aku habiskan waktu sekolahku di kelas dengan tidur, aku juga pulang lebih cepat untuk menghindar, tidak menunggu Choi Ma-da seperti biasa. Aku melarikan diri dari semua hal yang bersangkutan dengannya hingga tanpa sadar tanpa kompasku aku malah pergi tanpa tujuan.

Saat bus berhenti di sebuah halte yang berbeda seketika aku panik, mataku menjelajah melihat kota yang tak mirip dari tempat aku tinggali.

"Ini di mana pak?" tanyaku menghampiri sang sopir.

"Ini di los paradise, memangnya adek belum pernah ke sini?" Pertanyaan bapak yang sekitar umur 45 tahun itu membuatku terdiam. Aku turun tanpa menjawab dan membiarkan bus itu melaju meninggalkan ku begitu saja.

Kota yang baru kudatangi begitu indah, banyak lampu berkelap-kelip di setiap jalannya. Sesaat aku menyadari matahari mulai mengganti sif jadi bulan, aku panik dan mencari keberadaan bus tadi, tapi lagi-lagi aku di timpa sial, hujan menguyur daerah yang bernama los paradise yang kemungkinan sahabatan dengan los angeles.

Karena kebingungan aku langsung saja masuk dalam sebuah kafe yang sepi pengunjung, dan duduk di samping jendela dengan tujuan bertuduh.

Rasa dingin juga mulai menusuk sampai ke lambung, langsung saja aku mengangkat tangan kepada seorang barista yang berdiri di balik meja dapur mini, tak pusing ketek ku yang menguning karena sekarang aku jauh dari tetanggaku itu.

Dia melihatku dan mulai menghampiri. Sepanjang langkahnya rembulan seperti menyinarinya, terasa berjalan di red karpet yang megah sesuai dengan wajah rupawannya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Kata yang di ucapkan juga seperti alunan melodi yang begitu indah.

Sejak kapan ada laki-laki yang bisa mengalahkan karismatik dari sosok Choi Mada kalau bukan dia?

"Apa saja .... Aku butuh yang hangat." Aku berusaha menetralkan jantungku yang terdengar hampir menyanyikan lagu Dear future husband milik Meghan Trainor.

Mataku juga tak bisa diam, dia mulai menjelajahi postur wajahnya hingga tanpa sadar melihat tag name yang ada di seragam, di sana bertuliskan. 'Eigar."

Menyadari hal itu, laki-laki itu mengikuti arah mataku. Sambil tersenyum dia berkata, "Ini seragam milik temanku, namaku Carlie." Setelahnya dia pergi begitu saja tanpa mempertanggung jawabkan perasaanku yang sudah jatuh hati padanya.

"Maaf Mada, hari ini berikan waktu untuk Carlie menempati isi hatiku sekarang," batinku.

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang