2. 드라마 가득한 버스

45 11 34
                                    

Aku membayangkan wajah sumringah dari Choi Ma-da. Pasti lelaki itu bahagia sekali jika hidup tanpa diriku barang semenit saja. Tapi sedihnya aku sangat merindukannya. Aku pasti sudah dibunuh oleh panas asmaranya sejak pertama bertemu.

Memikirkan semua itu membuatku kembali ke alam sadar, sedari tadi aku menatap ke arah keluar kaca, sampai pantulan diriku terlihat di sana. Dia sangat berbeda dari yang aku lihat sebelumnya. Dalam hati aku terus bertanya ke mana manusia kucel tadi?

Di hadapanku hanya lah gadis berambut panjang model Curly dengan warna rainbom, dia mempunyai tindik di hidung, make-upnya juga terlihat seperti kuda poni, butuh tanduk untuk menyamakannya. Seragamnya beda tapi anehnya wajahku masih tetap sama.

Aku terlihat seperti orang baru yang memulai hidupnya kembali. Kalau saja ayahku melihat, pasti beliau mengatakan dimana semua uang yang aku pakai untuk menginvestasikan rambutku? mending dipakai makan.

"Argh!" erangku antara ingin berteriak bahagia atau tertekan.

Barista yang bernama Carlie rupanya memperhatikanku buktinya dia mendatangiku dengan wajah khawatir.

Aku menatap sinis, sekarang aku tahu alasan laki-laki itu tersenyum seperti madu. Dia berlaku baik kepada gadis cantik yang hinggap di tubuhku bukan sebagai diriku yang asli.

Rasanya kesal sekali, tapi kalau dipikir kembali harusnya aku memanfaatkan semua perhatian itu, anggap saja dunia sedang berbaik hati memberikanku secuil tahi kukunya untuk membuatku bahagia.

"Apa kamu baik-baik saja?" Aku tersenyum mendengarnya.

Kali ini aku akan mengubah sikapku sesuai penampilanku. Aku mengangguk manja sebagai jawaban sambil menopang daguku. Kakiku ikut menyilang dihadapannya memperlihatkan sepatu high heels yang kupakai berwarna senada dengan rambutku.

Niat yang sebenarnya ingin membuat dia ilfil tapi yang ada laki-laki itu malah tertawa pelan menunjukkan derata gigi kelincinya yang lucu.

"Kamu terlihat seperti anak kecil yang ingin berpenampilan dewasa."

Mendengar hal itu rasanya seperti di tampar kenyataan, kakiku jatuh ke tempatnya semula. Tanganku juga kembali di bawah meja, aku menunduk dalam, harusnya aku mengingatkan diriku untuk tidak terlalu Percaya diri.

Carlie mengelus kepalaku, dia beralih duduk di didepanku sambil mengangkat daguku. Aku menatapnya sambil berkaca-kaca, tanpa sadar air mataku menetes.

"Kamu tadi ingin mengodaku, ya? Tidak perlu sampai seperti itu, aku sudah menyukaimu sejak kamu turun dari bus."

Aku menghapus kasar bening embun yang hinggap di pipiku, sekarang aku tidak lagi drama, aku butuh pulang untuk menyembunyikan wajahku, sekarang aku ingat! Bus!

"Apa kamu tahu arah bus ke Seoul?"

Dia terlihat bingung karena aku mengalihkan topik. "It-tu, kamu harus pergi ke halte bus di tempat tadi, nanti akan datang bus yang memang mengarah ke Seoul."

Dengan cepat aku mengangguk mantap dan segera melarikan diri, tapi saat di depan pintu aku berhenti mendadak karena hujan masih jatuh ke bumi bahkan lebih deras dari sebelumnya.

"Tidak perlu terburu-buru, kamu bahkan belum meminum susu hangatmu." Terdengar kekehen kecil dari Carlie, dia berjalan kembali ke dapur untuk mengambil secangkir susu hangat yang ia katakan.

Aku berjalan pelan ke tempat dudukku semula sambil menggaruk leherku yang terasa ingin ku cakar saking malunya.

Entah kenapa pertemuan sesingkat itu membuat sejarah baru.

Malam itu kami habiskan berdua, harusnya jalan ceritaku seperti ini tapi genre Fantasi itu tidak nyata. Kalau kenyataannya aku dalam keadaan tertidur, tolong siapa pun yang melihatku jangan bangun kan aku dari mimpi indah ini.

Dalam perbincangan kami juga seperti arus listrik yang mengalir begitu saja, seperti aliran air yang mengalir semakin dalam seperti angin yang terbang berlayar tak tentu arah.

***

"Ayana!" Suara khas berat itu mengalihkan lamunanku. Tubuhnya yang sudah lanjut usia berusaha dia angkat sekuat mungkin untuk terlihat gagah di hadapan anaknya.

Aku yang belum sepenuhnya sadar dari kejadian semalam langsung berdiri menghampiri ayah untuk membantunya.

"Duduk saja, tidak perlu sampai seperti itu. Aku bisa ambil sendiri."

"Maaf," lanjutku melihat ayah hanya diam saja tanpa menjawab ocehanku. Aku tahu dia sangat marah karena tidak memperdulikan ajakannya untuk ke meja makan.

Dia mengembuskan napas pasrah dan mulai duduk kembali.

"Kemarin kamu kemana saja? Mada sampai tiga kali datang kerumah untuk menanyakanmu."

What?! Seorang Choi Ma-da?

"Ayah kan tahu aku gak mungkin pergi jauh!" belaku. Meski rasanya senang tapi aku menyembunyikannya dengan ekpresi angkuh.

Ayah yang selesai makan mengangkat baju kaosnya yang berwarna putih untuk dipakai membersihkan sisa makanan dimulutnya seperti tisu, kemudian menatapku dengan memicing.

"Kamu tahu bukan itu yang ayah maksud tapi masih saja berpura-pura bodoh, kamu hilang 100 hari saja ayah masih tetap tenang karena bisa panggil polisi tapi yang ayah pedulikan itu anak orang yang ayah minta tolong untuk jaga kamu. Kalau andai saja kamu liat raut wajah risaunya pasti kamu gak tega untuk duduk, makan, atau pun tidur dengan bahagia. Kamu pikir dia tidak punya keluarga untuk tempat pulang? Seharian dia tidak makan hanya untuk cari kamu."

Mendengarkan saja hatiku jadi ikut menggebu. Ingatkan pada diriku itu hanya sekedar khawatir sesaat bukan karena ada rasa lebih yang tidak dijelaskan dengan kata-kata.

Aku yang sedari berdiri langsung berbalik mengambil tasku dan segera menyalimi tangan ayah. "Bilang saja padanya tidak usah jaga aku lagi, aku sudah besar udah bisa jaga diri. Buktinya aku pulang dengan selamat, kan?"

"Dasar anak nakal!"

Saat aku berbalik menghindari ucapan itu, mataku beradu pandang dengan pemilik mata almond yang ingin aku hindari. Ada raut sedih bercampur legah di sana. Aku jadi merasa bersalah, langkahku sedikit ragu hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk membuang muka dan segera pergi menjauh darinya.

Samar-samar sepanjang langkahku aku mendengar dia berkata akan berangkat dulu setelah itu suaranya seperti hilang di telah bumi. Sunyi dan sepi, dunia seakan mengutukku untuk tidak jatuh hati pada orang lain lagi karena setiap aku menaruh rasa pada orang lain, maka aku akan bertindak sebaliknya, menjadi orang yang paling jahat sejahat-jahatnya sampai orang tersebut berpikir kalau aku membencinya.

Lebih baik seperti itu dari pada aku terlihat gagu dan bego di hadapannya.

Kalau d pikir kembali tindakanku sangatlah tidak wajar, aku menghilang seharian, dan pulang larut saat ayah sudah tidur. Perempuan macam apa yang seperti itu kalau bukan wanita karir? Hehe. Tapi aku belum sampai ke tahap itu untuk membantu ekonomi keluarga, aku hanya sedang mencari kesenangan untuk diriku sendiri, melampiaskan sesuatu yang tidak bisa kugapai.

"Hati-hati!" seru seseorang dan langsung menarik lenganku. Aku terkejut dan berputar 180° menghadapnya.

Mataku mulai terhanyut dengan wajah Choi Ma-da yang entah kenapa lebih dekat lima senti di wajahku. Bersamaan dengan bunyi klakson yang bersahut-sahutan seperti lagu yang mengiring kami ke album lagu yang akan dirilis.

Biarkan hati ini memilih jalannya sendiri, siap sakit hati dengan harapan atau merelakan semua perasaan sesaat itu.

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang