4. 버스는 새로운 사람들로 가득 차 있었다

29 11 33
                                    

Setelah menjelaskan semua kebenaran, lelaki itu malah tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang ulu hatinya yang sakit mungkin karena menahan lapar.

"Sudah, makan sana. Biar gadis ini ku obati," ujar Is Nenek.

Wajahnya bersemu merah menahan rasa malu, dia memperlihatkan bibirnya yang membentuk bulan sabit sampai kedua matanya menyipit sesuai senyumannya.

Aku mengalihkan pandanganku, terlalu bersinar terang sampai membuat mataku hampir meleleh.

"Sini, nak." Si nenek menarikku duduk dan mengambil kotak P3k di laci dekat tempat duduknya tadi. Dia memberiku Betadine, kapas beserta per ban untuk menutupi lukaku.

"Selesai!" ujarnya semangat, baru kali ini ada orang lain yang senang saat melihat orang lain sembuh karenanya.

"Namamu siapa nak? Kayaknya kamu bukan orang sini?" Nenek terus melanjutkan ucapannya karena melihatku yang hanya diam saja.

Aku tersenyum simpul saat angin mulai bersenandung di siang yang panas ini, hingga beberapa helai rambut mulai menutupi wajahku, sebelumnya aku belum pernah merasakannya, berhubungan juga rambutku memang pendek sampai di leher tapi kini aku terkejut menyadari rambut panjang itu kini menjadi milikku.

Aku memegang kepalaku sambil mengukur rambut panjang indah dan harum itu di tanganku. Syoknya bukan main, tak lupa aku mengambil benda pipih yang selalu berada di saku rok. Sambil melihat orang baru di layar ponselku yang mulai menggantikan Aya yang jelek menjadi cantik.

"Jadi? Namamu siapa nak?" Lanjut nenek itu mulai terlihat bingung.

"Ananda." Entah apa yang terjadi dalam otakku hingga menyebutkan nama itu.

"Terimakasih atas kebaikannya, aku pamit pulang!" Aku terburu-buru sampai tidak berpamitan dengan laki-laki kocak yang bernama Kijong.

Langkah yang biasanya kupakai terasa berat kini menjadi lebih ringan, lariku yang biasanya amburadul kini menjadi halus. Aku merasa seperti mengikuti kontes model di atas karpet merah bukan lari maraton seperti habis bertemu hantu.

Aku melihat bus tadi yang mogok kini mulai beroperasi, dengan mempercepat laju lariku sampai beririrngan di sampingnya. Aku menepuk bus itu untuk berhenti sampai pengemudi tadi membiarkan aku masuk.

Dengan napas yang hampir habis aku duduk menatap diriku di kaca jendela mobil, disana muncul seorang gadis cantik yang berambut panjang berponi. Bibirnya sangat kecil, matanya besar, mukanya sangat polos. Aku tidak tahu kenapa kejadian semalam terulang dengan veris yang berbeda. Apa aku bermasalah atau apa?

Yang pasti semua ini tidak masuk akal!

***

Seseorang menepuk bahuku hingga membangunkanku dari mimpi buruk yang terasa sangat nyata.

"Kau kemana aja? Bolos kok ga ngajak-ngajak!" ucap suara yang nampak tak asing. Aku mengerjakan mata berkali-kali dan melihat sekeliling, ternyata aku singgah di halte bus tempat sekolahku, Yun Li-sa orang membangunkanku itu juga duduk disebelahku sampai bus mulai jalan.

"Em, aku hanya malas belajar." Aku menjawab seadanya khas orang bangun tidur.

"Kalau tau kau bolos pasti aku ikut, kelas tadi, semua gurunya rese! kesel banget!" sambung Yun Li-sa begitu saja, tangannya sibuk membongkar tasnya mencari sesuatu yang aku tidak tahu itu apa sambil terus bercerita.

Aku manggut-manggut mengerti sampai bus berhenti di halte selanjutnya. Kami turun setelah membayar menggunakan kartu dan ternyata yang ia cari tadi adalah kartu kendaraannya, Lisa menggandengku dengan senang dan berhenti di sebuah kafe kecil dekat pertigaan jalan menuju rumah kami yang berlawanan arah.

"Nongkrong bentar yuk!" ajaknya. Kafe tersebut ada in door dan out door, kami memilih di out door sambil menonton pejalan kaki yang melewati lampu merah.

Mengatakan lampu merah aku malah mengingat kejadian memalukan tadi pagi bersama Choi Ma-da.

"Mau pesan apa?" tanya seorang laki-laki mengalihkan lamunanku tentang Choi Ma-da.

"Aku pesan Boba aja rasa Red Velvet ...."

"Kalau aku Green tea!" ucap Yun Li-sa semangat.

"List hari Minggu main badminton mau ga? Dekat kok dari rumahku," tawarku.

"Kita berdua aja? Ga ada lawan ga seru!"

"Kan bisa cowo lawannya, ganteng-ganteng kok," ujarnya. Aku mengajaknya bermain dengan alasan ingin mengistirahatkan otakku dari kejadian aneh yang barusan terjadi padaku.

"Wah kakak ini suka main badminton juga? Nanti saya bisa jadi lawan kok," sambung pelayan tadi. Kupikir dia sudah pergi setelah mencatat pesanan kami.

Aku tersenyum canggung. Bukannya dia terlihat seperti orang yang ingin mengincar sesuatu?

"Wah kebetulan sekali! Aku pintar banget main olahraga itu! Kapan-kapan kita main!" Yun Li-sa melanjutkan percakapan laki-laki itu karena melihatku yang sedikit bingung.

"Aku mau cuci tangan bentar," ujarku dan beranjak berdiri masuk dalam kafe, samar-samar aku mendengar mereka berbicara panjang lebar dan terdengar kata Instagram di sana. Kemungkinan mereka saling bertukar Ig untuk lebih dekat. Menjadi orang cantik memang luar biasa. Tidak hanya cantik, pintar bicara juga hal yang utama. Aku merasa iri, aku ingin diperlakukan seperti itu, dihargai seperti tuan putri  tapi aku merasa itu terlalu berlebihan, berbicara saja sulit apalagi mau berbicara pada laki-laki.

Jangan tanyakan kemana Kang Bo-ni dan Jung Re-na berada, mereka beda bus untuk sampai ke rumah. Namun aku bersyukur dia tidak ada disana, mungkin saja mereka akan berkata, "Apa laki-laki itu berbicara pada, Aya? Ga salah kan?" Aku merasa seperti orang tidak pantas untuk di tanyakan.

Setelah kembali dari toilet aku sempat berpapasan dengan laki-laki itu, dan kembali ke tempat dudukku, terdengar ucapan terimakasih dari mulut Yun Li-sa sampai pelayan itu menghilang dari pandanganku.

Aku tidak ingin mempertanyakan hal itu, aku memilih membuka ponsel hanya untuk mengeser menu utama, tanpa berniat membuka aplikasi yang berada di sana.

"Anjir banget tau gak Aji ini! Dia ngirim pesan ke aku ngajak ketemuan! Aku mikirnya dia dekat dengan Boni dan Rena, jijik banget liat cowo kek gini sumpah!" Curhat Yun Li-sa mendadak.

Bola mataku melebar lagi-lagi aku seperti di pukul ribuan cangkul di atas kepalaku, berdenyut saking sakitnya. Laki-laki seperti itu memang laknat! untung saja aku belum membuka pesannya.

"Tadi dia ngechat?" Aku bertanya berusaha meladeninya.

"Ga, udah dari dulu pas camping. Aku cerita sekarang karena gak enak sama mereka berdua. Trus yang tadi ini tau gak? dia bilang apa lagi? Katanya dia rindu, buset! buset!"

Aku tertawa miris dalam hati. Haruskah percakapan ini layak di lanjutkan?

"Oh iya, kak Bima ngajak jalan-jalan lagi! Kau Jangan lupa ajak kak Mada, ya! Ga seru tau kalau gak ada kak Mada, dia tu selalu buat suasana jalan, Aji juga gitu sebenarnya, tapi, ya ... Pas di chat dia 180° beda, bikin enek!"

Aku mengangguk mengiyakan, aku saja yang tidak ikut berbaur dengan mereka menyadarinya, Aji baik tapi dia playboy dan untuk kak Mada, aku merasa dia tidak perlu ikut, apa aku berbohong saja soal Kak Mada yang tidak bisa datang?

Tiba-tiba ponselku berbunyi...

Dunia malah jahat padaku, sekarang nama laki-laki itu malah muncul di layar ponsel dengan alasan sedang memanggil.

Seumur-umur dia tidak melakukan hal itu, tapi kenapa harus di depan Yun Li-sa?

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang