Saat semua orang berpikir semua akan baik-baik saja dan bersembunyi dengan menggunakan topeng, Ada sesuatu yang mereka lupa yaitu tanpa sadar mereka menunjukkannya.
"Kau mampir kemana kemarin?" tanya Jung Re-na saat melihatku memasuki kelas.
"Ada apa?" Aku balik bertanya dan mulai duduk di bangku.
"Kak Mada minta Tomi nanyain," bisiknya. Aku mengangkat bahu acuh dan mengalihkan pembicaraan.
"Mereka lagi bahas apa?" Jung Re-na menoleh melihat ke arah mataku ada Kang Bo-ni dan Yun Li-sa berbicara heboh di kursi belakang.
"Uh kepalaku sampe sakit dengernya, mereka bahas pertunjukan Jeno gitaris yang viral itu."
Aku terkekeh, aku sudah mengetahuinya dari awal dan akhirnya mereka mendapatkan apa yang kurasa.
"Kau mau ikut?" tanya Jung Re-na.
"Kalau gak ada kerjaan pasti aku ikut."
Jung Re-na memanyunkan bibirnya sambil menunduk. "Aku juga mau pergi tapi kasian Tomi ga ada teman belajar."
Lee To-mi terus ....
Bisa tidak sehari saja dia tidak bahas laki-laki itu! Aku jadi teringat kemarin soal dia membicarakan Carlie."Yudah temani dia saja, lagian kau kan gak suka nonton juga."
"Siapa bilang aku gak suka nonton? Aku emang gak tertarik dengan gitar tapi aku mau liat Jeno."
"Trus Aku?" tanya seseorang dibelakang Jung Re-na. Kami berdua seketika melihat sosok Lee To-mi dengan wajah seriusnya.
"Maksud aku bukan gitu ...." Rena segera mengejarnya yang kembali ke bangku dan mulai sibuk membujuknya.
"Aya! Sini! Daripada sakit mata liat mereka bucin mending kita bahas Jeno!!" seru Yun Li-sa dan Kang Bo-ni bersamaan.
Aku cengengesan melihat kelakuan keduanya yang kompak.
"Mau boker dulu, lanjutin gih." Aku segera berpamitan ke toilet, padahal hanya untuk melarikan diri dari cerita yang berulangkali tidak ada habisnya.
Saat keluar kelas aku berpapasan dengan Choi Ma-da, lelaki yang lebih tinggi dariku, berpenampilan rapi meskipun dia sering main bola dan mengeluarkan banyak keringat, Kami bertatapan sedikit lama. Aku tersenyum kecil dan beralih pergi tapi baru beberapa langkah pundakku di pegang olehnya.
"Ada yang ingin aku bicarakan."
Aku terhenti dengan degupan jantung yang begitu cepat. Kalau andai saja aku punya kekuatan berteleportasi aku ingin menghilang sekarang.
Aku bahkan tidak menoleh sedikit pun atau pun meresponnya, membuat Choi Ma-da mendahuluiku pergi agar segera mengikutinya.
Berjalan cukup lama akhirnya aku sampai di rotrof tempat biasa anak-anak nakal merokok. Pagi itu aku sedikit ketakutan saat menginjakkan kaki disana apalagi banyak laki-laki tetapi saat melihat Choi Ma-da mereka seakan mengerti dan pergi meninggalkan kami berdua.
"Ada apa kak?" ucapku membuka suara, melihat dia yang hanya membelakangiku sambil melihat ke bawah gedung tepatnya anak-anak laki-laki bermain bola.
"Kemarin kamu kemana? Kamu tidur sama siapa? Kamu juga tidak membalas pesan om, aku kan sudah bilang tidak akan memberitahukan soal tadi malam yang kita bicarakan." Setiap kata yang ia lontarkan terdengar seperti amarah yang berusaha dia tahan. Aku tidak tahu apakah setelah ini dia mungkin akan mendorongku ke lantai dasar atau masih mengasihaniku.
"A-aku pergi sama teman, batre hapeku habis dan aku lupa bawa charger." Aku meremas kuat samping rokku agar tidak gemetar.
"M-maaf, aku tidak pamit, aku hanya ...."
Choi Ma-da langsung berbalik seperti menungguku melanjutkan kalimat itu, tapi malah membuatku semakin ketakutan sampai tidak bisa berkata-kata.
"Baru kali ini aku tidak paham sama sikap perempuan, baru kali ini aku tidak tahu apa maumu, apa aku terlihat seperti Monster sampai kau harus menjauhiku?" Dia mengatakan itu sambil mengacak rambutnya, dia terlihat seperti ingin mencekek leherku tapi dilampiaskan di rambut indahnya yang malah terlihat jauh lebih ganteng dari rambutnya yang rapi.
Aku mungkin orang yang paling bodoh yang masih bisa salting di saat yang tidak tepat.
"Padahal aku sudah bilang berapakali ...."
Dia terus mengoceh, dan aku sibuk memperhatikan gerak bibirnya. Kata Deborah di film trus love saat melihat orang yang disukainya, pergerakan mereka akan melambat dan itu yang aku lihat sekarang. Suaranya seperti volume yang dimatikan dan mulutnya mengalami slow motion, aku menikmati keindahan itu, aku mungkin terlihat mesum sekarang, hingga aku refleks menunduk dalam agar menyembunyikan lengkungan senyumanku.
"Kau menangis?" tanyanya sambil memegang pundakku.
Aku menggeleng tegas dan tidak berani menunjukkan wajah merahku yang akan terlihat seperti kepiting rebus.
Terdengar helaan napas berat darinya, dia terduduk di lantai sambil bersandar di pinggiran pembatas.
Dengan posisi yang masih berdiri dia langsung menarik tanganku hingga terjatuh dan duduk di sampingnya.
"Kau tau, seorang khawatir berlebihan itu memiliki alasan, apa kau tau rasanya bagaimana? Dia bahkan tidak tenang sedikit pun, hatinya gusar seperti menahan banyak beban, aku tidak ingin mengajarimu tapi banyak yang peduli padamu. Kau mungkin merasa kau sudah dewasa dan orang yang menghawatirkanmu tidak ada apa-apanya, tapi apa kau pernah sedetik saja menoleh melihat orang itu?"
"Ayah juga pasti mengerti, dia kan juga punya kesibukan."
"Aku tidak membahas soal om, tapi aku!"
Aku terdiam sejenak untuk mencerna kata-katanya. Apa dia menyuruhku tinggal dirumah saja dan tidak pernah bersosialisasi? Kenapa setiap katanya tertuju pada hal lain? Aku berusaha berpikir positif agar tidak salah paham kalau dia ingin aku melihatnya sebagai orang yang menyukaiku.
"Apa kau masih belum mengerti?!" tekannya.
Tuhan tolong cabut nyawaku saja, kenapa aku seperti orang tolol!
Tepat hari itu aku melihat mata penuh kecewanya yang berkaca-kaca. Aku yang mungkin dengan wajah polos menunggu dia memperjelas setiap katanya yang terlihat seperti puzzle yang harus di pecahkan. Aku tidak tahu arahnya kemana dan seperti apa? Apa jadinya dan setelahnya, aku takut terlalu berharap pada kata-kata manisnya. Yang pada akhirnya aku juga akan berakhir sama seperti gadis yang menunggu bus datang.
Namun poin pentingnya bukan itu, saat aku sibuk mengira-ngira dia menggunakan kesempatan itu untuk membuatku melayang tinggi, hatiku berdebar kencang, rasanya ingin menghentikan waktu itu agar tidak terus berjalan. Aku tidak tahu apa dia melakukannya karena aku terlihat menjengkelkan atau tidak yang pasti aku senang bercampur aduk.
Aku tidak berharap dia melakukan itu karena setelahnya mungkin dia mengatakan kalau semua itu salah paham, tidak apa-apa dan aku harap tidak akan bertemu lagi dan mungkin semakin membencinya. Karena nyatanya perempuan butuh yang kepastian.
Napas kami saling bertukar, mata kami tertutup satu sama lain sambil tenggelam di dalamnya.
***
Bel bahkan belum menunjukkan tanda-tanda pulang, dan kelas di penuhi jam kosong dan kesempatan itu kami berempat diam-diam pergi menonton pertunjukan Juno di taman.
Kami berdiri paling depan dekat panggung. Jung Re-na baru bergabung setelah meminta izin dan sekalian membelikan makanan untuk kami.
Aku sibuk makan dan ketiganya sibuk berteriak, aku tidak fokus karena pikiranku melayang di tempat rotrof dan tanpa sadar suara khas milik seseorang membuatku teralihkan.
"Kau yang membaca buku cara menjadi pelakor, kan?!" seru laki-laki yang mereka sebut Jeno.
What the Fu*k Jeno!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Majimag beoseu jeonglyujang
FantasíaDrama-Fantasi 마지막 버스 정류장 (majimag beoseu jeonglyujang) Halte Bus terakhir _TAMAT_ Ini bukan kemana saja tempatku pergi, tapi ini tentang batasan tempat untuk menjauhinya #Kim Aya-Na _____________________________________________ Ananda, Yudia, Alex...