15. 이별 가득한 버스

8 2 2
                                    

Rasa insecureku kembali melambung tinggi saat berpisah dengan laki-laki yang selalu berjalan di belakangku. Di bus terakhir kali kami berpisah. Tidak ada lagi yang seganteng Choi Ma-da, tidak ada lagi yang perhatian seperti dia, tidak ada yang bisa menyukaiku apa adanya seperti dia. Disukai laki-laki sekeren Choi Ma-da adalah yang utama tapi tanpa status itu tidak berarti apa-apa, bisa saja dia bertemu perempuan lain dan perasaannya hilang begitu saja.

Ayah menepuk pundakku untuk menyadarkan, aku beralih melihatnya dengan mimik wajah yang kuatur kembali.

"Ayah mau pergi kerja dulu, sekarang kau mau kemana?" Aku terdiam sejenak, aku saja tidak tahu harus melakukan apa setelah ini, aku juga izin absen karena Choi Ma-da, hanya di sekolah lah tempat ku bisa bergembira bersama teman-teman.

"Aku mau ketemu teman, ayah diluan saja," bohongku agar dia tidak khawatir kalau meninggalkanku sendiri.

Ayah tersenyum tipis dan pergi. Aku memandangi punggung ayah yang perlahan menjauh dan menghilang di persimpangan jalan.

"Aya?" sapa seseorang membuatku menoleh, dia Ahn Aj-i, yang tidak pernah aku balas chatnya dan tanpa dosa bertemu di lapangan badminton seperti teman akrab.

"Oh hai!" Liat sekarang aku, antusias seperti ingin sekali bertemu dengannya betapa mengerikannya diriku.

"Ngapain disini? Ayo ke kafe depan lampu merah, daripada ngobrol di jalan ganggu orang lewat." Aku mengiyakan saja apa yang ia katakan, aku ingin menembus rasa bersalahku tentang kepribadianku ini.

Setelah sampai disana kami duduk di bagian lantai atas sambil melihat pemandangan, saat menoleh ke bawah aku teringat tempat duduk bersama Yun Li-sa hari itu.

"Kau tidak ke sekolah karena sakit, kan? Aku baru saja ingin menjenguk mu," tuturnya sambil memberikan buah sebagai buah tangan. Reflek aku memegang kepalaku yang di perban. Padahal hanya luka kecil, tapi alasan yang kuat adalah itu, tidak mungkin aku mengatakan karena Choi Ma-da.

"Tidak perlu repot-repot, tapi terimakasih."

"Hehe iya sama-sama, kalau boleh tau apa ponselmu rusak?"

Aku hanya bisa tersenyum canggung. Kenapa orang seperti dia jadi tidak tahu diri? Padahal aku sudah berniat untuk tidak melakukan hal kejam lagi.

"Engga kok, ada apa?"

"Kau tidak membalas pesanku." Suaranya jadi terdengar sedih.

"Tentu saja aku tidak balas, kakak kan sedang dekat sama teman-temanku kenapa masih menghubungiku?"

"Ah soal itu, ya? Apa mereka membicarakan itu padamu?"

Aku menggeleng tegas. "Aku hanya mendengar mereka bercerita."

"Ternyata mereka seperti itu, aku tidak akan bertemu mereka lagi."

"Kalau begitu aku juga, kan? Aku harus pulang agar cepat istirahat."

"Tidak, kau tidak perlu. Aku tidak membencimu aku hanya membenci mereka."

Apa aku tidak salah dengar? Kenapa dia jadi manipulatif? Apa karena sudah tertangkap basah?

"Aku tidak mengerti maksud kakak apa, kenapa kakak harus seperti ini?"

"Aku tahu kau mengerti maksudku, kau pun sadar saat kita menghabiskan waktu di camping, begitu pun saat di lapangan badminton, apa semua itu tidak berarti apa-apa untukmu?"

Aku hampir saja tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Apa karena aku terlalu gampangan sampai dia mengatakan itu?

"Di camping aku tidak banyak berbaur dengan kakak, hanya karena aku di bonceng kakak untuk pertama kali apa Kakak sebut itu waktu yang kita habiskan? Dan untuk di lapangan badminton, itu bahkan hanya sekedar sapaan saja."

"Sampai sekarang pun kau juga masih belum paham, asal kau tahu selama di camping tidak ada yang berani mendekatimu karena kau orang yang sulit di dekati, saat pertama bertemu aku sudah menyukaimu dan akhirnya memberanikan diri, begitu pun saat bermain badminton, aku kesana karena mendengar teman-temanku mengatakan kau ada di sana bersama Lisa. Aku ingin sekali bermain denganmu tapi lagi-lagi kau pergi begitu saja. Ibaratnya kau adalah tujuan utama sedangkan yang lain adalah kesempatan yang bisa di ambil."

Aku ingin sekali menamparnya sekarang juga, kalau saja aku tidak menghargainya sebagai teman Choi Ma-da mungkin sudah kulakukan. Kesempatan dia bilang? Sama saja dia mempermainkan perasaan semua orang.

"Aku benar-benar tidak bisa mencerna ucapan kakak, aku hanya ingin pertemanan ini tidak lebih." Aku bangkit berdiri meninggalkannya. Ahn Aj-i berusaha mengejarku, segera aku bersembunyi di belakang kafe hingga dia kehilangan jejek dan pergi.

Aku selalu mengatakan insecure karena tidak ada yang mencintaiku, sekalinya dapat orang yang mencintaiku orang itu malah mencintai asal-asalan. Lelaki yang tidak berpendirian seperti dia harus dimusnahkan.

"Dia sudah pergi," ucap seseorang di belakangku. Aku terkejut dan dia langsung menutup mulutku sambil melihat Ahn Aj-i kalau saja datang kembali.

Setelah melihat situasi aman barulah dia membuka tangannya. "Maaf."

Aku mengangguk pelan. "Kalau begitu aku pergi dulu," pamitku.

"Barakhir begitu saja? Padahal kita sering bertemu."  Aku terdiam sesaat sambil memperhatikan wajahnya. Setelah diteliti dia adalah laki-laki kafe yang ikut bermain badminton bersama Yun Li-sa.

"Oh hai, kau Ingin nomor Lisa? Aku akan berikan, sini ponselmu aku lupa membawanya."

Dia terkekeh mendengar hal itu. "Apa tindakanku tidak kelihatan ya? Padahal jelas-jelas aku ingin dekat denganmu tapi kau selalu saja mendekatkan ku dengan temanmu."

Hah! selalu saja! Kenapa laki-laki jaman sekarang bertingkah seperti pengemis? Sifatnya sama saja seperti Ahn A-ji.

"Jadi kau ingin nomorku? Aku tidak membawa ponsel, lain kali saja. Aku harus pulang."

"Maaf kalau itu membuatmu tidak nyaman," ucapnya terlihat canggung.

"Tidak kok, kau sekarang liat kepalaku di perban, kan? Sekarang aku harus istirahat." Aku tidak ingin menyakiti orang lain dengan tindakanku, aku hanya ingin membatasi orang-orang yang menyakiti hatiku. Kalau saja dia bisa mengetahui isi hatiku mungkin dia akan pergi tanpa sepatah kata.

"Kepalamu kenapa?" Suaranya jadi terdengar khawatir.

"Hanya jatuh. Kau lanjutkan pekerjaanmu bisa-bisa nanti kau di marahi. Aku pamit ya dah!"

Aku melambaikan tangan sebagai perjumpaan kami yang terakhir. Terlihat sekali mungkin aku sengaja menjauhinya karena memang begitu adanya. Aku tidak mau lagi terlibat dengan laki-laki.

Padahal barusan dua orang yang mendekatiku,  aku sudah merasa menderita luar batin. Aku tidak perlu berdoa lagi untuk didatangkan orang yang menyukaiku. Aku hanya perlu berdoa untuk didatangkan orang-orang baik dan tidak menyakitiku dan orang-orang disekitarku.

Aku tidak ingin hanya karena laki-laki aku harus berpisah dengan teman-temanku. Mereka sudah baik padaku, selalu bersamaku, aku tidak ingin pikiranku dijajah habis-habisan karena overthingking dan insecure. Meskipun aku tidak tahu suatu saat mereka mungkin akan mengkhianatiku dan meninggalkanku. Setidaknya sekali seumur hidup aku mendapatkan teman seperti mereka.

Langkah kakiku akhirnya sampai di depan rumah sederhana tempat kutinggali. Di sana ada mereka yang sedang menunggu

"Kemana aja sih, Ya!" teriak mereka gerang.

"Bisa-bisanya orang sakit malah keluyuran! Sini kau!"

Mereka mengejarku habis-habisan. Aku lari sambil tertawa terbahak-bahak.

Terimakasih sudah menjadi bagian dari kisah hidupku.

Yun Li-sa, Kang Bo-ni dan Jung Re-na.

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang