20. 눈물 가득한 버스

11 2 2
                                    

Setelah menemui Jeno, aku mampir sebentar ke kafe Carlie. Aku menulis surat berisikan alamat yang harus dia datangi di hari minggu setelah menerima pesan dari Kijong. Setelah itu aku pulang untuk belajar karena besok aku harus berperang dengan otakku.

***

Enam hari aku lewati untuk fokus pada ujian semester. Aku memutuskan untuk tidak mengingat mengenai bus dan hubungan pertemanan kami, yang kupikirkan adalah bagaimana aku harus mendapatkan nilai tinggi dan segera lulus.

Tibalah hari Minggu, aku mempersiapkan diri untuk bertemu mereka di pemakaman ketiga gadis yang mereka cintai.  Aku pergi tidak menggunakan bus, melainkan berjalan kaki karena jarak ke rumahku tidak lah terlalu jauh, selain itu aku takut akan berubah-ubah seperti bunglon saat bertemu mereka.

Laki-laki pertama yang kulihat adalah Nam Ki-jong dia sudah berdiri di depan kaca abu sipemilik nama Kinan. Aku berdiri di sampingnya memperhatikan lukisannya yang terpajang disana.

"Maaf terlambat," ujarku membuatnya menoleh.

Wajahnya sedikit kebingungan hingga aku menghembuskan napas pelan karena tahu wajah asliku akhirnya kembali.

"Ananda?" Aku tersenyum mendengarnya sambil mengangguk pelan. Dia menutup mulutnya saking kagetnya. Dia mungkin sekarang tahu kalau ucapanku tidak bohong.

"Senang berkenalan denganmu," ujarnya sambil menjabat tangan.

"Aku harap kita bisa menjadi teman baik."  Aku balik membalasnya.

***

Setelah bertemu dengan Nam Ki-jong, aku menemui Ji Je-no yang tidak jauh dari tempat Ki-jong berada. Disana dia sedang duduk menatap abu_orang yang dia sayangi.

Saat aku datang dia terlihat tidak peduli sampai aku memberikan dia buku yang bertuliskan 'Jangan Menangis'  membuatnya tertarik untuk melihat sumbernya.

Dia menghapus sisa-sisa air matanya sambil tertawa pelan. "Makasi Yudia." Je-no bahkan tidak terkejut sama sekali dengan rupa asliku.

***

Dari tempat Ji Je-no, aku terus menaiki tangga dan bertemu Carlie yang sedang menatap abu_orang yang di sayang berada di meja yang di lapisi kaca. Dia memandang kosong seperti sudah terbiasa dengan rasa sakit itu. Aku takut dia akan lebih kaget karena tidak sempat memberi tahunya soal aku yang bukan berasal dari wujud asliku. Aku hanya menuliskan alamat saja yang mungkin membuat dia kebingungan karena tahu aku mengetahui tempat pemakaman pacarnya.

Aku menyodorkan sapu tangan yang pernah ia berikan. Dia beralih menatapku dengan sangat lama  mungkin seperti menerka-nerka apa dia perna memberikan sapu tangan pada orang sepertiku.

"Kau memberikanku saat di kafe, aku kan selalu menjadi pelanggan setiamu," kata ku pelan.

"Tapi aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Aku hanya melayani 1 perempuan bernama ...."

"Alexia? Itu nama yang kugunakan."

Wajah Carlie berubah drastis dia merasa seperti dipermainkan.

"Ketahuilah aku juga tidak tahu, kenapa gadis itu memberikan wujudnya pada orang sepertiku? Ingatlah sejauh apa kau bisa mengiklaskannya sampai sekarang, semua yang kita jalani itu bukanlah sia-sia."

Air mata Carlie perlahan menetes.  Kemudian beralih menatap abu_pacarnya.

"Alasan aku mengirimi surat karena ini." Karena Carlie tidak mengambil sapu tangan itu, aku dengan sukarela menghapus air matanya menggunakan sapu tangannya. Setelah itu mengambil tangannya untuk di meletakkan sapu tangan berwarna hitam itu

Carlie tidak lagi berbicara dia seperti sibuk dengan dunianya. Pikiranku kembali melayang pada percakapanku dengan Ki-jong untuk menyakan letak abu si sopir. Namun Ki-jong tidak mengetahui tempatnya dia hanya tahu kalau mereka di makamkan bersama. Aku juga sempat bertanya pada Je-no_laki-laki itu juga tidak tahu apa-apa.

Misteri bus itu pun masih belum terpecahkan, usahaku untuk menemui ketiganya berakhir begitu saja. Namun saat beralih pulang, tanganku dicegat oleh Carlie. Dia ingin berbicara denganku, kami memutuskan untuk membahas itu di taman.

"Kau tidak mungkin melakukan itu semua tanpa ingin mengetahui sesuatu," ujarnya setelah mendengar ceritaku dari awal sampai akhir.

"Aku hanya ingin tahu dimana sopir itu di makamkan."

"Beberapa orang tahu bus itu bukan masuk kejurang melainkan menabrak wanita, dan sopir itu tidak meninggal, dia masih hidup dengan penuh rasa bersalah karena tidak bisa menemukan keluarga dari orang yang ditabraknya."

"Sekarang dia dimana?" Rasa penasaranku kembali memuncak, ternyata ada misteri lain dari bus itu.

Carlie mengambil surat dari kantongannya yang kemarin aku berikan dan dia menuliskan nomor apartemen. "Dia tinggal disana."

Pertemuan itu akhirnya berakhir. Aku memutuskan mencarinya, karena tidak terlalu jauh dari tempat pemakaman. Dia hanya tinggal di sebuah apartemen kecil disana, setelah menyesuaikan nomor yang ada di surat, aku memutuskan untuk memencet bel.

Awalnya tidak ada sahutan sampai bel ketiga, orang yang di tinggal di tempat itu pun mengalah dan membuka pintunya.

"Cari siapa?" ucap seorang lelaki tua yang terlihat acak-acakan. Dia hanya menggunakan kaos putih polos lusuh sedangkan wajahnya penuh kotoran makanan.

"Maaf, aku mencari bapak. Ada hal yang harus aku cari tahu soal bus yang bapak kendarai tahun lalu yang menyebabkan kecelakaan."

Mendengar kata bus, lelaki tua itu langsung memegang kedua pundakku. "Apa kau keluarganya? Apa benar kau anak dari wanita itu? Nama terakhir yang dia ucapkan adalah Kim Aya-Na."

Jantungku langsung berdegup kencang, itu benar nama lengkapku, semua misteri itu ternyata tertuju padaku. Wanita yang kupikir meninggalkanku dan Ayah karena seorang laki-laki ternyata sudah meninggal.

Aku tidak pernah tahu cerita lengkapnya, yang aku tahu ibu pergi dari rumah hingga ayah harus menderita tiga tahun lamanya dan memutuskan untuk pindah agar bisa move on.

Lututku terasa lemas, napasku terasa terhenti. Dadaku sesak. Aku saja yang merasakan itu luar biasa sakitnya bagaimana jika ayah yang mendengarnya, mungkin dia tidak akan memaafkan dirinya karena salah paham selama ini.

Aku segera mengirimkan alamatnya pada ayah dengan tangan gemetar, aku tidak sanggup menelpon dan menceritakan itu semua. Pak sopir itu segera membawaku ke tempat abu milik ibu. Pemakamannya sangat spesial, dia berada di satu ruangan kosong khusus dirinya, semua itu dibuat oleh pak sopir untuk mengganti kesalahannya meski tidak seberapa, hingga tibalah ayah yang sampai dengan wajah kebingungan karena melihatku menangis dengan terus menyebut kata ibu.

Ayah tersentak dan beralih melihat abu yang berada di kotak kaca, air matanya langsung menetas, dia terjatuh terduduk di depan abu ibu sambil terus menangis.

Aku memilih keluar karena tidak sanggup melihatnya meneteskan air mata, biarlah pak sopir itu yang menceritakan semuanya. Dari luar aku hanya melihat pak sopir yang terus mencium kaki ayah untuk meminta maaf.

Aku beralih duduk di salah satu kursi sambil menatap serpihan hujan yang mulai membasahi jendela, perasaan campur aduk itu akhirnya kelar di gantikan dengan legah. Aku tidak lagi menyimpan semua dendam itu, karena aku yakin semua yang kita benci bukanlah kebenaran sebetulnya, melainkan ada banyak cerita sampai gagasan yang kita lihat hanya akan terlihat dari apa yang kita percaya.

Maafkan aku ibu.

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang