14. 버스 안은 어둠으로 가득 차 있었다.

19 11 24
                                    

Suara itu milik Kang Bo-ni, dia mengigau. Tanpa sadar Yun Li-sa menamparnya hingga bangun. Kami memutuskan tidak melanjutkan cerita horor. Waktu pun cepat berlalu, bus datang dan kami berpisah malam itu.

Aku bisa saja pergi menemui salah satu dari ketiganya menggunakan bus tapi kali ini aku tidak bisa, aku takut Yun Li-sa akan curiga kalau berbohong lagi soal disuruh ayah membeli barang sampai tengah malam.

Saat sampai di rumah, disana sepi hampir sama dengan pemilik rumah sebelah siapa lagi kalau bukan Choi Ma-da. Cukup laki-laki itu yang menghilang, jangan juga dia mengajak-ajak Ayah menjadi partnernya.

Aku mengetuk pintu, tidak ada sahutan. Aku menelpon ayah tapi tidak ada sambungan. Aku hendak ingin mengirimkan pesan tapi pesanku berturut-turut meminta izin bermalam dirumah teman saja belum di balas olehnya. Sudah dua hari aku bermalam dan aku baru mencemaskannya sekarang? Kemana diriku selama ini?

Hatiku jadi gusar, aku terus mengendor pintu itu tapi tidak juga terbuka, dengan segudang keberanian aku mengecek rumah Choi Ma-da, dan hasilnya juga sama. Akhirnya dengan membuang semua harga diriku, kucoba untuk menelpon dia sambil mengingatkan pada diriku untuk tidak melakukan hal lebih dan hanya bertanya soal Ayah.

Terdengar nada sambung, setelah itu disusul suara beratnya.

"Ya?"

"Maaf kak mengganggu waktunya. Aku hanya ingin bertanya, apa Ayahku ada bersama kakak?"

Hening sejenak terdengar hembusan napas kasar di sebrang telepon.

"Kak?" ujarku gugup setengah mati.

"Kenapa baru cari sekarang?" ucapan itu tepat sekali menusuk jantungku.

"A-aku ...."

"Pergilah ke rumah sakit kangbuk, ruang mawar." Setelah itu nada sambung terputus bersamaan dengan air mataku yang mengalir di pipi.

Rasanya sesak sekali, kupikir hidupku akan terus bercanda ternyata serius pun bisa bahkan lebih mengerikan dari yang kuduga. Dengan cepat aku berbalik arah sambil terus berlari tidak memikirkan waktu yang mendekati fajar.

Untungnya rumah sakit itu tidak jauh dari rumahku dan tidak perlu naik bus hanya melewati lampu merah dan pertigaan saja hingga sampai kesana. Kalau ayah sampai sakit berat aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.

Dengan buru-buru aku masuk, tanpa sadar disana ada Cleaning service yang sedang mengepel, aku terjungklai dengan kepala yang mendarat ke belakang, kalau andai saja aku tidak meninggalkan tasku di depan rumah pasti benda itu masih bisa menolongku.

"Adeknya hati-hati," ucap bapak-bapak yang sudah berambut putih. Aku bangun sambil mengangguk patah-patah. Dengan tidak memikirkan keadaan aku bangkit dan segera mencari ruang Mawar di sepanjang koridor.

Mataku menjelajahi ke atas pintu tempat informasi itu berada. Langkahku memelan saat menemukannya. Air mataku tidak bisa berhenti jatuh saat memasuki ruangan itu. Disana ada seorang laki-laki yang terbaring lemah di atas ranjang pemeriksaan sedangkan di kedua sisinya ada Choi Ma-da dan ayah yang sedang menatapku bingung.

"Aya? Kau baik-baik saja?" ujar Ayah menghampiriku.

"Kak Mada bilang ayah ... " Ucapku ngos-ngosan.

Ayah terkekeh. Choi Ma-da menghampiri kami dengan wajah serius.

"Aku kan sudah bilang om," ujarnya khawatir sambil memegang kepala belakangku yang terasa lembab.

Aku menangis kencang sambil memeluk ayah. Sedangkan lelaki tua itu malah tertawa terbahak-bahak tanpa perasaan.

"Suster! Tolong ada yang luka di sini!" teriak Choi Ma-da keluar ruangan.

"Coba ayah liat kepalamu," katanya sambil menundukkan kepalaku.

Aku masih bingung apa yang terjadi pada kepalaku, aku saja tidak merasakan apa pun.

"Lukanya kecil, karena masih pagi makanya darahnya banyak."

Setelah mengatakan itu aku ditarik ke bangkar sebelah laki-laki yang terbaring lemah itu diiringi datangnya suster yang membawa alat-alat medis. Choi Ma-da juga datang  membawa kain dan menghampiriku.

"Kakak mau apa?"

"Seragammu penuh darah," cicitnya. Aku menoleh ke kanan dan kiri dan mendapati bahuku sudah dibanjiri noda merah. Aku terkejut bukan main dan berakhir tak sadarkan diri.

***

Penglihatanku buram, dalam setengah sadar itu aku mendengar suara tak asing sedang bercakap-cakap.

"Tidak perlu minta maaf, itu bukan salahmu. Kan om yang memintamu tidak mengatakan itu.

"Kalau Aya geger otak gimana? Dia juga pasti terluka karena buru-buru kemari."

"Siapa suruh jalan gak liat, itu salah dia. Besok juga sembuh."

Aku mendengar ayah mengatakan itu tanpa beban, kalau aku tidak pusing pasti aku sudah memukulnya habis-habisan.

Aku bahkan sudah mendoakan diriku yang tidak baik selama perjalanan dan akhirnya mendapatkan karma itu. Siapa juga yang tidak merasa bersalah kalau sudah menyangkut orang tua.

"Paman dan Aya pulang saja ya, nanti Mada yang urus ayah."

Jadi selama ini ketidakhadirannya  karena ayahnya yang sakit? aku bahkan membuangnya begitu saja. Hanya karena harga diri aku tidak memikirkan perasaannya yang mungkin membutuhkan support. Apalagi dia hanya tinggal seorang diri, ayah selalu bilang kalau orang tuanya pergi mencari cuan ternyata semua itu bohong. Tidak mungkin ayahnya sedang sakit tanpa sosok ibunya kalau  faktanya mereka sudah berpisah.

Aku takut dengan opiniku tapi setelah menyambungkan semua kejadian terutama saat bertanya soal kepergiannya di kafe tempo hari itu karena ibunya aku jadi yakin kalau hari itu ibunya memberitahukan soal dia tidak akan bersama dengan ayahnya lagi. Jelas-jelas di raut wajah Choi Ma-da bukan senang melainkan  sedih yang berusaha dia sembunyikan dengan wajah datarnya.

Maafkan aku Mada!

***

Setelah keadaanku membaik ayah berpamitan pada ayah Mada yang belum kunjung bangun dari tidurnya. Sedangkan Choi Ma-da memilih berbicara sebentar denganku di luar ruangan.

"Maaf ya," ucapku terus terang. Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Aku juga ingin memberitahukanmu soal kepindahanku." Mataku terbelak mendengarnya.

"Bukannya kakak sudah kelas 3? Apa boleh pindah?"

"Boleh kata wali kelas, aku juga sudah memberitahukan alasan kepindahanku karena ayahku akan di pindahkan ke rumah sakit tempat keluarga besarku berada, selain fasilitasnya bagus, keluargaku juga bisa berkunjung beda disini yang tempatnya jauh."

Air mataku mau jebol, tapi aku berusaha menahannya sekeras mungkin.

"Aku juga tidak perlu menjagamu lagi, kan? Kau sudah akrab dengan temanmu, kau juga sudah kenal tempat-tempat baru, dan ... Banyak yang mencintaimu, kau tidak perlu merasa kesepian lagi."

Aku menunduk dalam tak berani menatapnya, tangaku mengepal kuat untuk tidak menangis.

"Jaga dirimu," suara hangat itu perlahan memudar. Di gantikan suara ayah.

Telingaku seperti tuli sejenak. Aku merasa bleng. Duniaku perlahan-lahan menghilang. Aku tidak tahu kenapa aku harus merasakan sakit ini hanya karena berpisah dengannya. Padahal sangat jelas aku menyukainya dan itu alasannya. Tapi tetap saja semua itu terasa mimpi dan aku ingin bangun dari mimpi buruk itu.

Ayah menarikku pergi dan hari itu perpisahan kami dan kisah cinta pertamaku yang berakhir. Terdengar lebay tapi aku yakin semua orang punya kisah cinta mereka masih-masing.

Aku berharap saat aku lebih dewasa nanti aku akan memperbaiki kesalahanku yang dulu dan mengatakan yang dulu ingin aku katakan yaitu...

Apa kita masih bisa berkomunikasi?

Apa kita bisa bertemu kembali?

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang