7. 비밀이 가득한 버스

25 13 13
                                    

Kedatangan Choi Ma-da tadi malam membuatku tidak bisa tidur hingga berakhir meninggalkan jejak lingkaran hitam di mataku. Badanku lemas karena begadang, aku hanya bisa terduduk lesuh di samping lapangan melihat Yun Lisa dengan laki-laki yang ia temui di kafe bermain badminton.

"Kau yang ngajak, kau juga yang gak main," katanya sambil menghampiriku saat bulu yang mereka mainkan jatuh tepat di kakiku.

"Maaf," balasku memelas. Yun Lisa terlihat seperti mengerti keadaanku, dia tidak memaksa dan malah menikmati permainan itu.

Beberapa tempat mulai di isi dengan pemain lainnya, aku yang merasa mulai ramai jadi merasa mengantuk, suara mereka terdengar kicauan burung yang merdu.

"Gak ada lawan, ya?" tanya seseorang membuat perhatianku teralihkan. Aku menolah mendapati Aji bersama temannya.

Aku menggeleng lemah, dengan mata yang berusaha kubuka. Aku benar-benar malas meladeni laki-laki itu tapi dunia bahkan sengaja mempertemukan kami di saat-saat seperti ini.

Aji datang duduk di sampingku sedangkan teman-temannya pergi ke tempat duduk lain, dia menyodorkan minuman botol yang kebetulan ingin kuminum tapi tidak bisa kubeli karena uangku tidak cukup membayarnya.

"Makasih, kupikir kakak hanya suka bola," basa-basiku.

"Iya emang suka, hanya saja ingin coba olahraga ini." Dia mengatakan itu sambil melihat Yun Li-sa bermain.

Aku tersenyum kecut dan menyadari sesuatu, dia coba-coba pasti karena melihat status gadis berambut panjang itu di Instagram tadi hingga memutuskan untuk datang.

"Ayo main berdua!" sambung Aji.

"Ah aku tidak ...."

"Ayo!" teriak Yun Li-sa semangat.

Seketika aku menoleh kaget. Disana lawan mainnya sudah duduk istirahat sambil meminum botol airnya.

Aji melihatku sebentar sambil menunjuk Lisa, aku mengangguk mengiyakan dan setelah itu dia beranjak dari duduknya menuju lapangan.

Rasanya aku ingin menghilang saja. Harga diriku seperti jatuh di permukaan laut yang paling dalam. Aku bangkit dari dudukku dan pergi. Tidak lupa aku mengirimkan chat pada Yun Li-sa dan mengatakan kalau aku tidak tahan lagi karena mengantuk. Dia tidak akan bingung lagi soal ketikan itu karena aku sudah mengatakan sebelum bermain badminton kalau aku begadang menemani ayahku nonton bola.

Aku tidak pulang tidur melainkan naik bus entah kemana, aku ingin menjernihkan pikiran yang kelebihan kapasitas overthingking. Hatiku berkata harusnya aku tidak perlu merasa serendah itu. Tapi otakku merasa sebaliknya dia bilang kau tidak perlu berurusan dengan manusia-manusia seperti mereka. Aku tidak tahu aku yang salah atau mereka.

Seperti biasa karena tanpa tujuan aku berakhir di Los paradise. Aku tidak takut lagi, kini aku menerima segalanya. Aku masuk dalam kafe dengan penampilan yang always nyentrik saat pertama kali bertemu.

"Seperti takdir ya?" Sapa seseorang. Aku mengenal suara itu, lalu berbalik bersama dengan kedua rambut kepangku yang ikut terbang.

"Carlie?"

"Kau tau namaku, tapi aku tidak tau namamu," jawabnya lalu membuka celemek yang melingkar di pinggulnya.

Aku tersenyum canggung sambil berpikir keras nama apa yang harus aku pakai?

"A-alexia."

"Nama yang sesuai dengan penampilanmu," kekehnya, dia beranjak dari pijakannya dan berdiri di depanku bersama senyumnya.

Aku menggaruk pipiku merasa malu.

"Kafe bahkan belum buka kenapa kau datang secepat ini?"

"Ah belum buka ya?" Aku menoleh sekeliling yang tampak seperti terakhir kulihat masih sepi pengunjung, keduanya tidak bisa di bedakan kalau sudah buka dan tutup.

"Iya, jadwal buka kafe hanya malam saja."

"Jadi kau sedang apa disini sampai pintu kafe tidak tertutup?"

Dia mengangkat alisnya sebelah dan tersenyum sambil berkata. "Ini kafeku jadi aku bebas masuk."

"Oh sorry, kalau begitu aku keluar." Aku segera berbalik tapi dia langsung menahannya.

"Kau mau menemaniku pergi beli bahan dapur?"

"Ayo!" jawabku semangat membuat dia mencubit pipiku gemas. Kami berjalan bersama keluar kafe, bersama awan mendung yang mulai terlihat di langit.

Aku tidak tahu kenapa awan itu tidak pernah mendukung keberadaan ku bersama Carlie pasti kalau bukan hujan ya mendung seperti sekarang.

Bukan aku membenci hujan tapi suara hujan itu seperti suara banyak orang yang sedang berbicara, mereka bersahut-sahut seperti sedang bergosip, setelah di dekati, mereka menggunakan kata yang menusuk seperti halnya hujan yang membawa sakit.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Carlie, membuat ku beralih padanya.

"Tidak, ayo tunjukkan di mana tempatnya."

Kami kembali berjalan dan naik menggunakan trem, aku baru tahu kalau kendaraan itu ada di kota Los paradise. Aku duduk di samping jendela melihat ke arah luar, kami melewati banyak bangunan yang baru aku liat. Trem itu juga keluar dari kota setelah memasuki terowongan. Hingga berhenti di sebuah pusat pembelanjaan tempat itu lebih bersih dan barada dalam gedung, hingga aku tidak perlu merasa khawatir kalau berpapasan dengan hujan apa bila sewaktu waktu turun.

Kami berjalan beriringan keluar dari Trem menuju tempat itu, dan mulai mencari barang yang kafenya butuhkan, aku bantu membawa barang belanjaan Carlie, aku juga mengekor laki-laki itu kalau dia ingin memilih tempat yang lain. Sesekali kami bercanda dan tertawa bersama apabila menemukan barang yang unik, kami juga jadi pusat perhatian bukan karena ketawa kami yang besar melainkan rambut warna-warniku yang mencolok dan pakaian yang aku kenakan seperti Naomi yang ada di film Suicide Squad tapi setidaknya aku masih memakai rok untuk menutupi paha indahku.

Setelah beberapa menit berbelanja kami akhirnya selesai, saat hendak pulang kami terhenti melihat angin kencang yang kuat. Rokku sampai terbang hingga aku harus bersusah payah untuk menutupinya.

Namun tiba-tiba dari belakang ada orang yang mengikatkan jaketnya. Kedua tangannya sampai terlihat di hadapanku. Orang itu mungkin melihat CD belakang rokku sampai harus melakukan hal itu.

Aku malu sekali sampai tidak sanggup menoleh dan berterima kasih. Carlie yang baru melihat hal itu pun menggantikanku mengatakannya.

"Jaketnya boleh ku beli?" tanya Carlie pada pemilik jaket.

Aku tidak mendengar jawaban laki-laki itu, aku hanya melihat Carlie mengangguk berterima kasih untuk yang kedua kalinya.

Setelah kejadian itu aku berjanji untuk tidak datang ke dua kali ke tempat itu saking malunya. Carlie juga bahkan mengetawakanku di Trem. Aku memutuskan pulang setelah urusan kafe selesai dan saat turun dari bus penampilanku berubah seperti sebelumnya tapi anehnya jaket itu masih bertengger manis di pinggulku.

Aku menatap jaket biru Dongker Levis itu sambil tersenyum senang, orang itu bahkan sangat baik sampai merelakan jaketnya untuk orang lain yang tidak di kenalinya.

Saat berjalan cukup jauh akhirnya aku sampai di rumah, kedatanganku bersamaan dengan kedatangan ayah. Aku baru ingat semalam dia menyuruhku temani Choi Ma-da karena ingin bertemu dengan kerabatnya tapi aku melupakan semua itu.

"Maaf yah aku tidak ...."

"Aku menyuruhmu menemaninya bukan mengambil barangnya juga, nanti kembalikan jaketnya," potong ayah dan masuk ke dalam kamar.

Aku hendak ingin meminta maaf karena tidak datang tapi yang ada aku tersentak mendengarnya.

Jadi jaket kupakai milik Choi Ma-da?

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang