(Epilog)

8 3 0
                                    

Usaha belajar mati-matianku tanpa teman dan ketiga laki-laki itu berjalan mulus. Aku mendapatkan rangking pertama dengan nilai yang sempurna sampai berhasil naik ke kelas tiga.

Sistim Kelas 3 di ubah sesuai peraturan kepala sekolah baru yaitu murid dengan nilai tertinggi dipisahkan dengan murid yang nilai rendah. Ketiga temanku mendapatkan kelas yang berbeda. Kami jadi terpisah-pisah, tidak ada yang mendapatkan kelas yang sama. Semua itu kumanfaatkan untuk belajar lagi, tidak ada lagi rasa overthingking yang selalu menghantuiku. Aku akhirnya bisa menerima diriku sendiri.

Tidak ada kata untuk meminta maaf dan di maafkan, semuanya berjalan dengan sendirinya. Rasa untuk menahan diri juga tidak bisa dipaksakan, tiba saat pelulusan, kami dipertemukan kembali dengan versi yang berbeda. Kami yang dulu masih kekanak-kanakan berubah menjadi dewasa.

Kami dipersatukan saat ada fotografer yang meminta kami untuk berfoto bersama karena di sekitar kami tidak ada lagi murid-murid yang sendirian, semuanya punya keluarga tidak dengan kami yang mendadak sama yaitu belum kedatangan wali. Kami dibariskan berempat dengan aku yang berada di tengah bersama Yun Li-sa  sedangkan kang Bo-ni dan Jung Re-na yang berada di sisi kiri dan kanan. Awalnya hanya senyum canggung dan gandengan kaku yang terlihat sampai fotografer menegur kami hingga menjadi senyuman lebar dan rangkulan yang nyaman. Moment itu aku abadikan lewat mataku dan selalu kukenang di pikiranku.

Acara pelulusan itu berakhir. Kami pulang terpisah dengan keluarga kami yang akhirnya datang juga meski terlambat. Aku naik motor bersama ayah sambil kupeluk erat lelaki tua itu agar dia tidak pergi jauh meski kenyataannya itu tidak akan terjadi. Dalam perjalanan aku memikirkan banyak hal dari awal sampai akhir aku tinggal di kota Seoul. Banyak pengalaman yang aku lewati mulai dari pertemanan yang penuh salah paham, bus misterius yang menghilangkan insecureku dan pelarianku dari Choi Ma-da, semua itu mengundang tawa pelanku.

Aku sadar, bahwa menerima semuanya berjalan sesuai air yang mengalir adalah jawabannya, tidak butuh berkilo-kilo meter aku menjauh, tidak butuh wajah tampan untuk menutupi pikiranku tentang Choi Ma-da, itu hanya akan membuang waktu dan memperburuk keadaan, itu hanya akan membuatku tampak seperti orang gila yang berpura-pura waras, yang kubutuhkan sekarang hanyalah kata pasrah.

Aku memang tidak terlahir cantik untuk disukai, aku hanya butuh menarik untuk tampil berbeda di hadapannya, yang dapat menjadi kenangan, setidaknya hanya untuk dia.

Ayah menurunkanku di halte karena dia harus  lanjut pergi ke kantor, dia hanya izin sebentar untuk datang di acara kelulusanku. Hal itu aku iyakan dan memahaminya. Ayah selalu berusaha menjadi ayah yang terbaik dan setidaknya aku bersyukur akan hal itu.

Beberapa menit di halte aku teringat kenangan indah bersama bus itu, selama aku berada di kelas 3 aku tidak lagi naik bus karena ingin menghilangkan rasa traumaku tentang ibu. Aku memilih nebeng bersama Ayah untuk ke sekolah. Namun aku tidak melulu terpaku pada rasa sakit itu, aku harus bangkit seperti yang diharapkan ayah dan pastinya ibu akan menyetujuinya.

Kakiku hendak ingin pulang, bertepatan bus berhenti di sampingku. Di sana turun seorang laki-laki yang hampir punah di ingatanku.

Dia tersenyum lebar seperti mengharapkan aku memang berada di tempat itu.

"Kak Mada!"

***

Yee akhirnya selesai HAHAHA (tertawa jahat)
Padahal niatnya nantangin diri nulis sampai 50 bab tapi tidak bisa, jempol tanganku butuh istirahat. Saia harus fokus menulis challenge lain hehehe

Saia tidak tahu apakah mungkin cerita ini akan berlanjut lagi atau tidak, tapi stock ideku sudah mentok smpe sini.
Saia juga tidak tahu apakah pembaca bisa mendapatkan sisi positif dari cerita ini, karena saya menulis untuk menghibur diri saya sendiri AWOKAWOK

Okey sampai jumpa!
Salam dari typo tulisanku~

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang