5. 야간버스

34 11 30
                                    

Aku membalik hapeku di meja dan mengecilkan volume suaranya, untung saja lagu panggilan masukku hanya berbunyi suara Iqbal kw kamu nanya berulang-ulang.

"Siapa yang muter itu?" gumam Yun Li-sa terdengar kesal karena selalu mendengar kata viral dari Indonesia itu dari beberapa anak cowok di kelas kami.

"Hehe, sorry alaram soreku." Aku berbicara dusta dan tampaknya dia juga percaya dengan menunjukkan sikap bola mata yang memutar.

"Yaelah, yudah aku cabut duluan ya!" Lisa beranjak berdiri. "Mintol bayarin, nanti aku bayar di sekolah!" Aku mengangguk gugup setelah itu dia berlari sekuat tenaga ke arah yang berlawanan dari rumahku.

Aku bernapas pelan tapi tidak sampai situ sebuah tangan memegang bahuku hingga membuatku kaget.

"kamjjagiya!"

Sipemilik tangan juga ikutan kaget.
"Kenapa sampai seperti itu?" Dia bahkan merasa bersalah dengan kehadirannya, dia juga baru bergabung setelah kepergian Yun Li-sa.

"Kakak sih tiba-tiba datang, gimana gak kaget?" Padahal aku baru saja berusaha lari dari panggilannya.

Dia mengangkat ponselnya yang sedari tadi dia letakkan di telinga. "Kau tidak menjawab makanya aku kemari."

Aku pura-pura membalikan ponselku yang ada di meja. "Oh, maaf aku baru liat kak."

Choi Ma-da mengembalikan ponselnya yang berwarna hitam di sakunya, lalu menoleh mencari orang yang aku liat tadi.

"Ngapain telpon?" tanyaku to the point untuk mengalihkan perhatiannya.

"Kata temanmu kau bolos, jadi aku menelponmu, ternyata kau disini untuk bertemu seseorang."

Aku menghembuskan napas pelan, diperhatikan oleh orang yang disukai memang menyenangkan tapi kalau itu karena ayah itu terasa sia-sia. "Sudahlah, aku balik dulu ya!"

yang penting kak Mada udah liat aku kan?

"Tunggu!" Aku terhenti saat hendak berdiri.

"Maaf."

"Untuk?" tanyaku kembali duduk di hadapannya.

"Untuk semuanya, aku merasa kau menjauh karena aku membuat salah, seperti kejadian tadi pagi."

Aku menggaruk jidatku pelan sambil memaksakan senyuman padanya. "Untuk yang tadi pagi tidak perlu dibahas, dan untuk permintaan maaf, kakak tidak perlu melakukan hal itu, kakak tidak punya salah, aku memang ingin sendiri saja."

Choi Ma-da menyimak cukup lama hingga dia bangkit berdiri dari kursinya. "Oke, ayo!"

Dadaku mulai berdegup kencang, aku berusaha menahan napas,"K-kemana kak?"

"Pulang bareng."

Aku menggeleng pelan membuat kerutan di dahinya.

"Malam ini aku mau mampir di rumah teman, mau minjam buku soalnya kan aku ketinggian pelajaran, kalau ayah nanya, kak Mada tinggal jawab seperti yang aku bilang tanpa perlu khawatir lagi."

Laki-laki itu menatapku tanpa ekspresi, saking takutnya aku hanya bisa meremas tanganku di belakang.

"Aku pamit ya kak." Aku mengatakan itu begitu saja tanpa menunggu jawaban darinya, yang terpikirkan olehku hanyalah menjauh darinya sebelum banyak pertanyaan yang ia lontarkan.

Aku berlari tanpa menoleh, sampai sebuah bus melintas di sampingku, rasanya seperti Dejavu aku menepuk bus itu sampai membuatku naik.
Aku duduk paling belakang sambil menatap Choi Ma-da dari jauh, dia terlihat terpatung di pijakannya.

Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, kenapa harus bertindak sejauh itu? Tapi jujur aku tidak ingin pulang bersamanya. Kini aku hanya bisa terduduk lemas, dan mulai membaringkan tubuhku di kursi sebelah.

Membayangkan malam ini akan tenang seperti kuharapkan tapi sekian menit berlalu, bus kini mulai rame penumpang. Seseorang menepuk bahuku, aku kembali duduk dengan perasaan was-was. Manusia bahkan berdatangan tak terhingga, menghimpitku sampai terdorong didepan jendela mobil. Aku menahan napas, tercium bau busuk dengan beraneka ragam, bahkan sampai ku hapal, terdiri dari bau mulut dari orang yang makan terasi, sepatu basah yang dilepas kaos kakinya, dan keringat yang berasal dari tubuhku.

Aku jadi mual dibuatnya, segera aku meminta sopir untuk memberhentikan bus. Aku keluar dari kendaraan itu dengan perasaan campur aduk.

Ternyata aku turun tidak jauh dari tempat Choi Ma-da, hanya ada persimpangan jalan yang mengahanginya. Tapi aku bersyukur setidaknya Choi Ma-da tidak terlihat lagi di jangkauanku.

Cahaya terang yang berada tepat di hadapanku mengalihkan perhatianku. Aku menyadari keberadaan toko buku disana. Dengan langkah ringan aku masuk, melihat buku dengan judul yang sangat fantastik, seperti : Dia tidak mencintaimu, kau hanyalah permainan, dan cantik adalah yang utama. Mereka seperti menyindirku dengan cara yang estentik. Rasa mood membaca seketika hilang dan sirna tapi saat hendak berbalik seseorang berbadan besar menghalangi jalanku. Aku ke kiri dia pun sama, aku menuju jalan kanan begitu pun dia sebaiknya. Aku menghembuskan napas pasrah dan mendongak, melihat si empunya.

"Bisa minggir, tidak?" ujarnya sangat dingin sampai menusuk tulang-belulangku. Tapi gobloknya aku terpesona mendengarnya, mataku juga di buat berkaca-kaca saking sempurnanya ciptaan Tuhan.

Laki-laki itu memiliki banyak tindik di telinga dan bibirnya tapi hobinya membuat orang pangling, dia membawa banyak komik di genggamannya dan pergi menuju sofa ternyaman untuk membaca. Enaknya toko itu tersedia tempat membaca buku dan pemesanan makanan ringan beserta minuman sebagai cemilan.

Tidak ada satu pun manusia yang tidak melihatnya, semua orang berpikir dia cocok sebagai anak geng motor yang sering bergembira di tengah jalan tapi ini malah sebaliknya, perut mereka jadi geli dibuat oleh laki-laki misterius itu.

Aku tidak jadi keluar toko dan memilih mencari novel sembarang dan duduk tidak jauh darinya. Malam ini aku ingin menghabiskan waktuku untuk melihat pemandangan yang luar biasa. Meski dari jauh itu lebih dari cukup untuk menutupi rasa sakit di hatiku soal Choi Ma-da.

Saking takut ketahuan melihat dia, aku menutupi buku di wajahku, tapi Laki-laki itu memiliki Indra ke enam dia mengetahui siapa saja pemilik mata yang melihatnya, buktinya dia mendatangiku dengan wajah datar seakan-akan memperingatikanku soal mataku yang tidak di sekolahkan tata Kramanya.

"Maaf, bukumu terbalik," katanya. Aku terdiam sejenak mencerna hal itu, tidak ada pergerakan dariku membuat laki-laki itu inisiatif membalikannya.

"Kau suka buku seperti ini ya," lanjut laki-laki itu melihat bacaanku, mataku mengerjap beberapa kali dan baru menyadari judul dari novel yang baru aku pegang berjudul cara menjadi pelakor (perebut laki orang).

Aku menarik paksa buku itu dari tangannya dan memindahkan kembali ke dalam rak buku.

"A-aku salah ambil!" sanggahku mulai berkeringat dingin.

Dia tersenyum sinis tapi manis hampir membuatku kehabisan oksigen.

"Lebih baik baca komik sepertiku," sarannya sambil memberikan buku yang ia baca tadi di tanganku.

Dia menengok kanan-kiri kemudian menarik pergelangan tanganku untuk duduk di samping rak buku.

"Sebenarnya disini lebih nyaman ketimbang dilihati semua orang," lanjutnya begitu saja. Aku yang masih mode terpaku hanya mengangguk bingung.

"Apa kau kurang sehat? Rambutmu sangat berantakan, wajahmu juga pucat," cakapnya begitu saja. Aku tersadar dan mulai mengeluarkan ponselku di saku untuk merapikan takutnya ada upil yang terselip dan lupa ku buang. Namun, Betapa kagetnya lagi-lagi aku mengalami perubahan diri.

"Aku sangat cantik!"

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang