9. 함정 가득한 버스

17 7 61
                                    

Ucapan Lee To-mi terngiang-ngiang, haruskah aku percaya dengan semua itu? Atau berpura-pura amnesia? Aku tidak tahu harus bicara apa saat bertemu Choi Ma-da nanti? Bisa saja dia membicarakan semua itu di depan ayahku, kan? Bagaimana aku bisa menjelaskan hal itu?!

"Ngelamun aja?" tegur seseorang membuat lamunanmu pecah. Aku menoleh mendapati Yun Li-sa dengan model rambut barunya.

"Rena udah pulang, ya?" Aku bertanya sambil melihat sekeliling mencari keberadaannya.

Yun Li-sa tidak menjawabku dia sibuk dengan ponselnya. Sudah dipungkiri kalau kami searah sedangkan Kang Bo-ni dan Jung Re-na sebaliknya. Jadi tidak heran kalau aku bertemu dengan Yun Li-sa di jalan menuju bus.

"Katanya cuman cuci rambut kok sekarang jadi di ruba? Mana keliatan berantakan lagi."

Lisa terdiam sesaat kemudian melirik ke kanan dan kekiri. "Jangan bilang-bilang ya?" bisiknya seperti merasa terancam.

Aku ikut menutup mulut sambil mendekat padanya. "Iya," balasku ikut berbisik.

Yun Li-sa menatapku dengan tatapan berbinar sambil menunjukan ponselnya di hadapanku, dia memperlihatkan satu postingan foto di Instagram milik seseorang. Disana terlihat ada foto figure seorang gadis membaca buku dengan keadaan sampul terbalik.

"Jadi?" Jujur saja aku bingung kenapa dia kelihatan ketakutan hanya untuk menunjukkan foto seseorang?

"Aku ikut model rambut gadis yang di posting Jeno, gitaris terkenal itu!"

Aku menatap Yun Li-sa tanpa ekspresi, aku tidak tahu kenapa orang-orang seperti dia harus mengubah diri hanya karena ingin terlihat mirip dengan orang yang disukainya.

"Disalon emang gak ada kaca ya?"

"OMG Aya! Kau  gak tau yang lagi viral? Ini namanya rambut model shaggy layered hair."

"Terserah kau deh." Aku memilih mengalah sambil melanjutkan langkahku.

"Huh kudet! Besok dia mulai pertunjukan di taman kota emang kau gak ikut?" sambarnya di sampingku sambil menunjukan poster acara itu di depanku.

Aku menepis poster di depanku dan terus berjalan, aku sungguh ingin tidur dan tidak ingin mendengar ajakan semua orang.

"Nanti aku lihat," jawabku malas.

Yun Li-sa terus berceloteh menceritakan betapa serunya acara itu, dia bahkan tidak sabar untuk datang pertama, pembicaraan itu tidak berhenti saat turun bus sekalipun, kupingku hampir tuli dibuatnya, tapi akhirnya cerita itu berhenti di pertigaan jalan tempat kami pergi ke rumah masing-masing.

"Yah gak seru!" keluhnya.

Aku menepuk bahunya memberi semangat.
"Besok masih ada Rena dan Boni yang belum tau, kau bisa menceritakan pada mereka." Dalam hati aku tertawa jahat menunggu reaksi keduanya saat di sekolah.

"Oh iyayah lupa, yudah sampe besok!" serunya pergi sambil melambaikan tangan.

Barulah aku bernapas legah dan berjalan tenang. Sesampainya di rumah, disana pintu tertutup dengan keadaan lampu mati. Aku segera merogoh saku rokku untuk menelpon ayah tapi terhenti saat mendengar deheman seseorang.

Aku mengangkat kepala melihat si pemilik suara dan disana ada Choi Ma-da tengah duduk di teras rumahnya yang menyala seperti cahaya ilahi,  dengan seragam sekolah yang masih ia kenakan.

"Om tadi ada keluar sebentar, kau tunggu disini aja."

Aku terkesima, haruskah aku berseruh hore?

Aku kembali memasukan benda pipih itu di saku rokku dan menuruti perkataannya.

Aku duduk di depannya dan kami saling diam satu sama lain, menikmati malam yang tenang itu, hingga Choi Ma-da memecahkan keheningan.

"Kemarin dengan siapa?"

Aku menoleh kaget, padahal aku sudah mewanti-wanti diriku untuk tidak tegang jika ia sewaktu-waktu menanyainya tapi malah kakiku  sampai tremor dibuatnya. Ia bertanya di waktu yang tidak tepat. Haruskah dia menghancurkan moment berhargaku bersamanya juga?

"Kemarin? Aku kan sudah bilang akan bermain badminton dengan Lisa," ujarku berusaha untuk tidak membahas soal jaket.

"Bukan itu, tapi kalau tidak ingin membahasnya aku tidak akan bertanya lagi."

Napasku seperti terhenti mendengar dia mengetahui semuanya. Aku mengeluarkan jaket itu dari tasku dan memberikannya.

"Terimakasih, aku harap kakak tidak membahasnya pada siapapun," kataku sambil menunduk dalam.

"Aku sudah memberikannya padamu."

"Ayah menyuruhku mengembalikannya," balasku cepat.

"Tapi-" belum sempat dia berbicara ucapannya terpotong karena dering ponselnya.

Dia beranjak dari duduk dan pergi mengangkatnya. Saat itulah kesempatanku untuk pergi sajauh mungkin. Aku tidak ingin berbicara atau pun berdebat dengan laki-laki itu, dia bahkan sudah mengetahui rahasiaku, kalau semakin dekat lagi maka dia akan tahu semuanya dan itu berbahaya untukku. Aku mengirim ayah pesan dan mengatakan akan menginap di rumah teman daripada harus menunggu ayah pulang dan terjebak bersama Choi Ma-da.

Seperti biasa aku pergi tanpa tujuan dan duduk di samping jendela, aku selalu menemukan banyak orang di bus. Namun,  aku tidak pernah bisa berhenti pada satu tempat, hingga aku sadar aku lah yang tidak turun, akulah yang membawa ketakutan dengan alasan tidak ingin berada di tempat yang salah.

Saat fokus menatap keluar jendela, seseorang menaruh hendset di telingaku. Aku menoleh dan mendapati laki-laki yang tidak asing duduk di sebelahku.

"Kalau bersedih, lebih bagus di hayati dengan lagu biar legah," ujar laki-laki itu sambil tersenyum lebar.

Sekarang aku ingat dia adalah laki-laki bermata bulan sabit sesuai dengan senyumannya. Aku tidak tahu lagu apa yang ia putar tapi itu mampu membuat moodku sedikit membaik.

"Kau ingin kemana?" tanyaku sekadar basa-basi walau terus berpikir keras untuk mengingat namanya.

"Pergi ke basecamp," katanya sambil memasang hendset satunya di telinganya.

"Boleh aku ikut?" ucapanku membuatnya menoleh kaget.

"Serius? T-tapi kan ...."

"Boleh atau tidak?"

"Boleh!"

***

Dari pertemuan kedua bersama lelaki yang bernama Kijong, aku membuat pilihan yang tidak masuk akal, aku bahkan pergi bersamanya di tempat biasa ia melukis hanya karena mau menjauhi Choi Ma-da.

Aku juga baru mengetahui namanya saat pintu ruangan itu tertera KIJONG dengan huruf yang besar dan beberapa peringatan agar tidak masuk.

"Kau perempuan yang unik, perempuan biasa kalau kedua kali bertemu pasti tidak akan memilih pergi bersamaku apalagi sekarang sudah jam malam," ungkapnya sambil duduk menata kuas lukisnya.

Aku memutari tempat itu sambil melihat-lihat hasil lukisannya yang terlihat hampa dan kelam sangat berbanding terbalik dengan kepribadiannya yang ceria. 

"Aku lebih suka kau menyebutku perempuan aneh," sambungku dan tepat terhenti pada satu cermin yang ter tempel di dinding. Penampilan baru, model rambut baru, kepribadian baru, semua itu tidak membuatku kaget lagi karena itu aku menyebutnya aneh.

"Jangan berbicara seperti itu, maaf kalau aku salah bicara, bagaimana kalau kau duduk di kursi sambil aku melukismu," tawarnya.

Aku berbalik melihatnya yang tidak henti-hentinya tersenyum, di wajahnya saja tidak ada aura untuk membuat orang lain merasa rendah diri.

Aku melakukan hal yang ia minta setidaknya aku harus melakukan sesuatu untuk membalas perbuatan baiknya.

"Lukis aku seperti kau ingin melihatku bukan seperti yang kau lihat sekarang."

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang