11. 걱정 가득한 버스

23 17 49
                                    

Ada hal yang harus di pelajari dari melaksanakan sesuatu yaitu menerima resiko dan konsekuensi dari semua perbuatan itu, dan aku sadar aku sedang melakukannya sekarang.

Laki-laki yang aku temui di perpustakaan adalah bernama Ji Je-no dan dia sangat terkenal, tidak heran jika Yun Li-sa mengikuti rambut yang aku kenakan hari itu karena laki-laki itu mempostingnya sebagai gadis pujaan hatinya yang ia harap akan bertemu kembali.

Saat teriakan menggema itu aku menyadari semuanya, dan refleks menunduk sampai Yun Li-sa menjadi sasaran karena model rambutnya mirip denganku hari itu. Kesempatan itu kugunakan untuk menjauh dari keramaian sambil terus berjalan.

Aku bergegas lari keluar dari acara, dan pergi menuju bus. Namun takdir mempertemukanku dengan mata almond milik Carlie.

"Hai, kau terlihat berbeda," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Aku tahu dia pasti mau menertawakanku dengan model rambut pendek ini.

"Oh?! Kau!" seru lagi laki-laki yang berada di belakang Carlie dia adalah Nam Ki-jong.

Napasku seperti tertahan, bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka? sedangkan setiap bertemu namaku pasti berubah.

"Aya!" seru seseorang, aku segera turun dan melihat Choi Ma-da. Aku berpura-pura bertanya sambil terus menariknya menjauhi mereka.

Samar-samar aku mendengar mereka berkata
'kayaknya aku salah orang' barulah aku bernapas legah tanpa menyadari Choi Ma-da yang terus ku gandeng tanpa arah.

"Kau baik-baik saja?" Sapanya pelan.

Aku mengangkat wajah dan perlahan melepaskan rangkulan tanganku padanya.

"Iya, maaf menyeret kakak sejauh ini." Aku celingukan dan menyadari tempat yang kami datangi yaitu pantai.

"Apa karena penampilanmu berbeda hingga kau harus menjauhinya?"

Aku tertunduk, ingin sekali aku menjelaskan semuanya tapi tidak aku lakukan dan memilih mengunci rapat mulutku.

"Waw coba liat airnya!" seruku mengalihkan pembicaraan itu.

Aku berlari menyisir pantai dan melepaskan sepatuku sambil mendatangi ombak-ombak disana.

Aku merasa Choi Ma-da tidak ikut disampingku, sesekali aku melirik kebelakang, melihat dia yang hanya memilih duduk sambil melihatku bermain. Dari sikapnya saja aku sudah menyimpulkan bahwa kami tidak cocok dan sfrekuensi karena dia terlihat lebih dewasa dari aku yang masih kanak-kanak.

Setelah lelah aku berjalan mendekatinya dan duduk disana sambil mengatur napasku yang hampir habis.

"Sudah puas mainnya?" katanya sambil menyampingkan anak rambutku di telinga.

Aku tidak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan sesimpel itu, aku memilih mengangguk pelan dan tidak berani menatapnya.

"Awalnya aku tidak tahu kenapa kau memilih lari saat di rotrof, aku juga tidak tahu kenapa kau memilih lari saat bertemu laki-laki yang kau temui di pusat perbelanjaan, tapi sekarang aku tahu kau melakukan itu karena tidak ingin menyakiti salah satu dari kami."

Kenapa dia berpikir seperti itu? Padahal aku lari karena tahu dia pasti akan mengatakan semua itu salah paham.

"Tidak apa-apa, aku paham kok," lanjutnya sambil mengusap kepalaku.

Karena terlalu salting mulutku seperti terkunci, padahal aku ingin sekali menjelaskan semuanya.

"Besok ada acara perpisahan kelas 3, kau harus datang, oke?" ujarnya sambil tersenyum.

Aku menikmati pantai itu hingga menjelang sore tanpa bicara sepatah kata, hanya mendengar dia berbicara saja sudah seperti alunan lagu yang tidak ingin aku pause. Aku harap selalu seperti itu sampai tidak ada waktu untuk berpisah dengannya.

Namun naas kupikir masih ada waktu untuk kami berdua, seperti yang ia bicarakan. Waktu yang kami habiskan sore itu sudah kadaluarsa,  esoknya kami tidak bertemu sama sekali, berpapasan atau saling lewat saja tidak ada, dia seperti hilang ditelan bumi. Aku merasa seperti dighosting.

Dunia seperti merasakan kesedihan hatiku, tiba-tiba mendung dan ingin mengeluarkan air matanya untuk mengangtikanku menangis. Aku hanya bisa menatap keluar jendela tanpa bisa menangis bersamanya.

"Kok pulang gak bilang-bilang sih, Ya?!" Yun Li-sa datang menyerbuku dengan pertanyaan-pertanyaan soal kehadiranku yang mendadak sirna. Kang Bo-ni dan Jung Re-na juga menyerbuku dengan cerita memalukan Yun Li-sa yang sudah kegirangan di sambut Ji Je-no dan ternyata dia meralat perkataannya hingga membuat gadis itu malu.

Kalau seandainya moodku sedang bagus aku pasti meladeninya dan ikut tertawa tapi lengkungan bibirku saja tidak bisa kutarik. Aku hanya mengangguk dengan genangan air  mata yang hampir saja jebol.

Seandainya kalau acara perpisahan kelas tiga tidak ada hari itu ketiga temanku pasti menyadari kesedihanku dan melontarkan kata introgasi dan menikamku dengan pertanyaan randomnya.

Siapa sangka sosok Choi Ma-da yang kemarin sedekat jengkalnya tanganku kini jauh berkilo-kilo meter yang bayangannya saja tidak bisa kujangkau. Aku berpamitan pergi karena tidak tahan lagi.

Aku berlari sepanjang lorong bersamaan dengan jatuhnya air mataku dan jatuhnya hujan deras yang hampir menulikan telinga semua orang. Mereka asik berteriak untuk bicara satu sama lain dan itu kesempatanku untuk berteriak mengeluarkan unek-unek di hatiku.

Andai saja dari dulu aku bisa berbicara leluasa dengan isi hatiku padanya pasti saat di pantai aku tidak perlu menutup mulutku dan membuatnya kesepian.

Pikiran rumitku yang selalu menuntunku berprasangka buruk, aku selalu membatasi orang-orang untuk masuk dalam duniaku, karena duniaku penuh kawat duri. Kawat duri itu merupakan overthingking yang tidak ada habisnya.

Kalau ditanya apakah aku tersiksa? Jawabannya tidak sama sekali, aku malah menikmatinya sampai menambah banyak wadah penyakit yang dapat membunuh diriku sendiri dan orang lain.

Aku mungkin bisa dikatakan psikopat tapi kalau tidak seperti itu, aku akan terlihat seperti orang bodoh yang kehilangan harga dirinya. Lebih baik aku membuat batasan pada orang lain agar aku dan mereka tidak menjadi bagian dari rasa sakit itu.

Hari ini, besoknya dan seterusnya dia tidak muncul lagi, aku juga tidak dapat melihatnya dari jauh seperti biasa dia bermain bola. Aku ingin sekali pergi ke lantai atas tempatnya kelas 3, tapi aku tidak bisa melakukan itu karena setiap aku diam-diam kesana aku selalu dipergoki ke tiga temanku. Selain itu, saat ingin bertanya pada kakak kelas lainnya soal Choi Ma-da, ada saja halangan yang membuatku tak bisa bertanya, memang mungkin seharusnya aku tidak perlu berusaha karena semua itu buang-buang waktu.

"Kau gak turun, ya?" tanya Yun  Li-sa saat kami turun dari bus sepulang sekolah.

Aku tersadar sambil mengeleng, rasanya buat apa aku pulang kalau sampai disana rumah Choi Ma-da akan terlihat gelap dan tidak menyala seperti sebelumnya.

"Aku mau pergi ke tokoh disuruh ayah," jawabku bohong.

Yun Li-sa paham dan kami berpisah malam itu. Bus melaju pergi tanpa tujuan. Seperti inilah kekuranganku saat aku jenuh aku malah mencari kesenangan untuk memuaskan rasa sendiriku padahal bisa saja aku bertanya pada ayah soal Choi Ma-da tapi gengsiku diluar BMKG.

Bus terhenti di depan lampu merah, aku turun karena sudah lama duduk, pantatku keram hingga memilih berjalan kaki. Aku menghirup udara malam itu yang sangat segar hingga berhenti di depan banyak orang yang tengah menonton seseorang melakukan pertunjukan di depan tokoh yang sedang tutup.

Aku ikut bergabung  mendengar satu orang itu bernyanyi sampai selesai, hingga banyak orang bertepuk tangan dan memberikan uang koin di topi yang orang itu kenakan. Saat semuanya bubar dan aku ikut melakukan hal sama tapi tanganku malah dicegat olehnya.

"Kita bertemu lagi, sebutkan namamu wahai wanita misterius."

"Jeno?"

***

Majimag beoseu jeonglyujangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang