Dua Puluh Enam

298 17 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

Jujur bukanlah perkara yang mudah. Jangankan berbicara jujur kepada orang lain terkadang kita sendiri kerap kali tidak jujur dengan diri sendiri. Dalam sehari berapa kali kamu mengatakan bahwa dirimu baik-baik saja padahal kepalamu terasa penuh sesak. Lalu seperti biasanya, kamu akan kembali mengenakan topeng agar kamu tetap menjadi dirimu yang orang lain ketahui. Bahagia tanpa cela. Bukankah kita begitu terbiasa membohongi diri sendiri?

Satu kebohongan yang dilakukan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Sesuatu yang awalnya begitu kecil berubah menjadi palu besar yang mampu menghancurkan apa pun. Ketika waktu itu tiba siapa yang bisa menghindarinya?

Esha duduk bersama Yuna di salah satu sofa. Di sofa lainnya Rudi duduk bersama Azri yang terlihat begitu kesal. Tatapan matanya menajam tanpa mengalihkannya sedikit pun dari Esha. Kondisi seperti ini tentunya pernah terpikirkan oleh Esha, tetapi kenyataannya ia tidak akan pernah siap. Mengakui hal yang selama ini ia tutupi terasa begitu sulit. Terkadang ia selalu memiliki keinginan untuk menyampaikan hal ini lebih awal, tetapi dalam hitungan detik pun keberanian yang sebelumnya ia bangun runtuh dalam sekejap.

Yuna mengusap lengan Esha untuk meyakinkannya jika apa pun yang terjadi nanti Yuna akan selalu bersamanya. Menarik napasnya Esha menatap kedua orang laki-laki yang begitu ia sayangi. Apa masih boleh menyebutnya seperti itu jika ia telah melakukan kebohongan yang besar?

"Esha minta maaf sebelumnya karena gak cerita hal ini dari awal." Tenggorokannya terasa begitu sakit ketika mulai berbicara, bibirnya pun terasa begitu berat.

Detik berubah menjadi menit, tetapi tidak ada satu pun orang yang bersuara selain Esha yang mulai menjelaskan segala yang terjadi. Segala hal yang ia tutupi selama ini. Azri terlihat mengepalkan tangannya beberapa kali sedangkan Rudi hanya menatap dengan pandangan datar. Terlalu sulit menebak apa yang ada dipikirannya saat ini.

Menundukkan kepala dengan tangan saling bertautan Esha lakukan untuk menghindari berbagai tatapan yang hanya berfokus padanya. Suara detak jam menjadi pengganti suara Esha yang tidak lagi terdengar setelah menyelesaikan ceritanya. Detak jantungnya terasa begitu kencang. Keheningan yang tercipta membuatnya semakin tertekan.

"Ayah ke kamar dulu, kita bicara besok Esha. Saat kondisi kita sama-sama lebih baik," ucap Rudi memecah keheningan untuk yang pertama sembari bangun dari posisinya.

Esha mengangkat kepalanya menatap kepergian ayahnya dalam diam. Ayahnya pasti perlu waktu untuk menenangkan diri setelah mengetahui hal ini. Esha tidak akan memaksa jika memang Rudi belum mau membahasnya. Lagipula bukankah mereka sama-sama perlu waktu untuk berpikir.

"Kamu bodoh banget Esha," ucap Azri.

Esha tak menjawab karena hal yang wajar menurutnya jika Azri mengatakan hal tersebut.

"Aku udah bilang beberapa kali sama kamu. Kalau kamu mau pekerjaan kamu bisa bekerja di tempat ayahnya Yuna, tapi kamu selalu nolak. Dan kamu malah bekerja seperti itu? Aku udah gak ngerti lagi dengan jalan pikiran kamu." Azri memukul meja di hadapannya membuat Esha dan Yuna tersentak.

"Berhenti sekarang Esha. Kamu gak perlu lagi berhubungan sama Hadinata dan anaknya itu. Jangan berpikir untuk menjalani hubungan sama dia karena aku gak akan pernah kasih izin." Azri berdiri bersiap meninggalkan ruangan tersebut.

"Aku gak mau." Esha ikut berdiri setelah sekian lama hanya bergeming.

"Gak mau kamu bilang? Kamu mau menjalani hubungan sama orang yang bahkan gagal dengan rumah tangganya? Dia sakit Esha. Bahkan kamu sampai merahasiakan hal ini dari keluarga kamu sendiri."

"Dia gak sakit karena setiap orang punya luka batinnya masing-masing. Dan mengenai merahasiakannya itu semua keputusan aku." Esha menggeleng dengan pandangan yang mulai memburam.

"Aku bilang enggak ya enggak. Cukup jauhi dia dan pembahasan ini selesai sampai di sini." Azri memutar tubuhnya dan berjalan dengan langkah perlahan meninggalkan ruang tamu.

"Apa kamu gak merasa kalau kamu keterlaluan, Mas?" Suara Yuna yang cukup kencang membuat langkah Azri terhenti.

"Kamu menilai orang bahkan tanpa kamu mengenalnya. Kamu buat suatu kesimpulan mengenai orang itu hanya berdasarkan sudut pandang kamu. Apa sekarang masa lalu seseorang jadi tolok ukur kamu? Dan apa tadi kamu bilang? Dia sakit? Orang yang kamu sebut sakit bahkan lebih berani dari yang kamu pikirkan, Mas. Dia mau berusaha buat memperbaiki dirinya, Mas. Bukan hanya buat dirinya tapi juga orang-orang di sekitarnya."

"Aku bukan kamu yang seorang psikolog. Aku bukan kamu yang bisa menerima apa yang Esha ceritakan."

Esha menarik tangan Yuna dan menggeleng ketika Yuna mulai melangkah untuk mendekati Azri. "Mas sejak aku memilih menikah sama kamu Esha juga jadi adikku. Dan kalau kamu memang gak bisa menerima silakan lakukan. Tapi apa dengan ngelarang Esha berhubungan semuanya akan selesai? Esha udah dewasa Mas biarin dia bertanggung jawab dengan pilihannya."

"Kamu gak ngerti Yuna, kamu gak akan ngerti. Kamu tau di hari terakhirnya bunda. Bunda minta aku buat selalu jaga Esha. Bunda minta hal itu ke aku dan kamu pikir aku akan mengabaikan permintaan bunda? Dan menjauhkan Esha dari Hadinata adalah salah satu cara aku buat jaga Esha."

"Apa kalau bunda ada bunda akan senang dengan hal yang kamu lakukan saat ini, Mas?" tanya Yuna, "bahkan kamu sendiri enggak yakin dengan yang kamu lakukan," lanjutnya.

"Malam ini aku izin sama kamu buat tidur dengan Esha. Aku tau kamu perlau waktu untuk sendiri saat ini." Yuna menarik tangan Esha dan berlalu melewati Azri mengajaknya untuk segera beristirahat.

Esha menoleh menatap Azri yang berdiam diri di ruang tamu. Apakah keputusan yang diambilnya sudah benar untuk tetap mempertahankan? Bagaimana jika keputusan yang ia buat ternyata menjadi suatu boomerang bagi dirinya?

***

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang