Tiga Puluh

315 17 0
                                    

Tulisan ini dipublikasikan juga di medium @yourstory

Selamat membaca ✨

***

"Loh, Lyra." Mendengar suara tak asing yang menyapanya membuat Lyra dengan cepat menolehkan kepalanya.

Daffa dan seorang perempuan berdiri di hadapannya dengan membawa cup berisi ice cream. "Eh, Daff. Ke sini juga ternyata," balas Lyra.

"Oh iya, ini kenalin. Lyra temen kantor dan ini temannya Lyra namanya Esha." Daffa mempersilakan perempuan yang sejak tadi berada di sebelahnya untuk saling berkenalan.

"Hallo, salam kenal, ya. Veera."

Lyra dan Esha secara bergantian membalas uluran tangan tanda perkenalan. Merasa tidak asing dengan nama Veera, Lyra segera melirik Daffa dengan alis terangkat. "Udah resmi atau belum nih? Ra asal lo tau, ini manusia satu galau banget karena lo."

"Ly, lo mending diem." Daffa menggelengkan kepalanya sembari mendelik.

"Kalian cari tempat duduk ya? Gabung ke sini aja itu pun kalau gak ganggu date kalian sih." Lyra menunjuk dua kursi kosong yang tersedia.

"Siapa yang lagi date? Jalan biasa aja kok. Beneran gapapa kalau kita gabung?" tanya Veera mengabaikan Daffa yang menarik lengannya untuk mencari kursi lainnya.

"Gapapa, lebih seru juga kalau bareng." Esha yang sejak tadi diam akhirnya ikut bersuara.

"Kalian gak ada pengertiannya sama gue sumpah." Daffa menarik kursi dengan kasar dan mengempaskan tubuhnya begitu saja. Rencananya untuk berdua saja dengan Veera gagal karena bertemu dengan dua perempuan yang kini meledeknya. Menyesal sepertinya sudah sangat terlambat. Seharusnya ia tidak perlu menyapa Lyra tadi dan sebaiknya ia berpura-pura saja tidak mengenal keduanya.

Percakapan terus berlanjut antara ketiganya sedangkan Daffa memilih untuk menghabiskan ice cream-nya sambil mendengarkan. Seperti pertemuan pertama pada umumnya. Hanya hal-hal umum yang mereka bicarakan, bertukar media sosial, dan rencana untuk pergi bersama di lain waktu.

"Daf, katanya Elin mau pulang, ya?" tanya Veera dengan posisi tubuh menyerong menghadap Daffa. Meskipun suaranya pelan dan tidak ada maksud untuk menguping Esha masih bisa mendengarnya dengan jelas karena jarak kursi yang begitu dekat.

"Iya," balas Daffa.

"Dia beneran mau ketemu Hadinata sama Zio?"

Esha mengangkat kepalanya begitu mendengar nama Hadinata dan Zio disebutkan. Keningnya mengerut berpikir siapa Elin yang sejak tadi disebut dalam pembicaraan keduanya. Sepertinya tidak pernah ada nama Elin dalam percakapannya dengan Hadinata ketika masih bersama. Jantungnya secara kontan berdetak dengan cepat, pandangannya beralih ke sembarang arah berusaha tidak terlihat jika ia sangat menantikan jawaban yang mungkin akan membuat perasaannya semakin tidak nyaman.

"Apalagi yang mau dia lakuin selain ketemu sama Nata dan Zio. Bahkan dia udah hubungin Nata."

Entah bagaimana mendeskripsikannya yang jelas saat ini Esha ingin kembali ke kamarnya. Kepalanya tak berhenti bekerja, menebak siapa sebenarnya Elin dan apa hubungan mereka. Esha pikir ia sudah cukup mengenal Hadinata dan Zio ternyata ia salah besar. Melupakan mungkin akan lebih baik dilakukan saat ini, tetapi lagi dan lagi hal ini tidak semudah itu untuk dilakukan. Seharusnya Esha tidak perlu penasaran karena mereka tidak lagi memiliki hubungan apa pun, kalaupun saat ini masih ada kontrak di antara mereka sikap seperti ini juga tidak diperlukan karena Esha hanya bekerja. Bahkan Hadinata dengan tegas mengatakan untuk mengetahui batasan dan posisi di mana ia berada.

***

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang