Tiga Puluh Tujuh

723 54 6
                                    

"Kak Esha ini kartunya boleh buat Zio?"

Zio mengangkat sebuah kartu yang sebelumnya ia gunakan untuk menaiki transjakarta.

"Boleh. Zio mau naik lagi kapan-kapan?" tanya Esha sembari mengangguk

"Mau lagi, seru banget bisa berdiri terus pegangan. Tapi Zio belum nyampe kalau harus pegang yang atas itu," ujar Zio dengan wajah berbinar. Menaiki transportasi publik rupanya menjadi hal yang begitu menyenangkan. Bisa bertemu dengan banyak orang juga melihat berbagai individu dengan kesibukannya masing-masing.

"Papa kayanya gak mau lagi," bisik Esha. Netranya menatap Hadinata yang kini duduk di sofa seorang diri dengan ponsel digenggaman. Mungkin sedang membalas pesan karena terlihat beberapa kali Hadinata mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

"Tadi ibu-ibunya lucu, Kak." Zio ikut tertawa begitu ingatan tentang kejadian sebelumnya terulang.

Seorang perempuan berusia sekitar 50 tahun menyapa mereka begitu Hadinata berdiri di samping kursi. Keadaan yang cukup ramai membuat Hadinata harus berdiri sedangkan Esha dan Zio duduk pada satu baris kursi yang sama. Awalnya biasa saja, hingga seorang perempuan yang duduk di depannya berbalik dan mulai mengajak mereka berbicara dengan intonasi rendah supaya tidak mengganggu yang lainnya.

"Mas, ini anak sama istrinya ya?" tanya ibu tersebut.

Hadinata bingung, tetapi setelah beberapa detik bergeming ia mengangguk sembari tersenyum kecil. Ibu tersebut memperhatikan Hadinata dengan saksama membuat yang ditatap mulai merasa tidak nyaman.

"Mas pasti Hayden, ya?"

Mendengarnya Esha tertawa tidak menyangka jika perempuan itu akan mengatakan hal seperti itu.

"Bukan, Bu," balas Hadinata masih dengan senyum yang coba ia pertahankan. Matanya mendelik ke arah Esha yang tidak berniat membantunya sama sekali.

"Ah masa? Mirip gini, pasti Hayden Danayaksa kan? Suaminya Grizelle itu, kok ini beda. Masnya selingkuh?" Ibu tersebut mulai melirik ke arah Esha dan Zio. Hadinata cepat-cepat menggeleng, bagaimana bisa ibu di depannya berbicara yang tidak-tidak. Bagaimana jika orang lain mendengarnya?

"Nama saya Hadinata dan saya bukan Hayden seperti yang ibu pikir."

"Mas tau gak? Belakangan ini banyak kasus perselingkuhan. Bisa aja kan, Masnya cari cela," ucap ibu itu dengan menggebu. Pandangannya kini beralih ke Esha yang masih tidak berbicara. "Mba kamu jangan mau kalau diimingi sesuatu. Jangan mau jadi selingkuhan."

Esha mengangguk mengerti. "Terima kasih, Bu. Tapi bener suami saya bukan Hayden. Emang sekilas mirip sih, tapi saya yakinin kalau suami saya bukan Hayden."

Percakapan singkat tersebut berakhir dengan permintaan maaf juga cerita ibu tersebut mengenai maraknya kasus perselingkuhan belakangan ini.

Zio menghampiri Hadinata yang memanggilnya kemudian ikut duduk bersama di sofa. Entah apa yang dibicarakan Esha tidak dapat mendengarnya karena jarak mereka yang jauh. Mengerti isyarat tangan Hadinata, ia mulai melangkah mendekati mereka.

"Istirahat dulu, nanti baru keluar buat makan yang kamu mau, ya." Hadinata menepuk sofa di sisi kirinya yang masih kosong meminta Esha untuk ikut bergabung bersama keduanya.

"Iya, Mas," balas Esha sembari menyandarkan tubuhnya. Tangan Hadinata yang bebas mengusap rambut Esha yang kini tidak lagi rapih. Beberapa helai rambutnya mulai mencuat dari kunciran.

"Tidur dulu sana sama Zio. Nanti saya bangunin." Mata Esha terpejam begitu tangan Hadinata mengusap keningnya. Kantuknya semakin ia rasakan.

"Jangan tidur di sini. Kasian nanti istri saya badannya sakit-sakit."

Esha membuka matanya begitu kalimat Hadinata dapat ia terima dengan baik. Matanya mengerjap. "Apa Mas? Siapa yang jadi istri?"

"Kamu kan, tadi di tj kamu sendiri yang bilang kalau saya itu suami kamu."

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang