Esha sempat mengunjungi tempat ini beberapa minggu yang lalu bersama dengan Hadinata dan Zio. Namun, kali ini berbeda tak ada lagi keduanya. Netranya berpendar menatap barisan pusara di sekitarnya. Tidak berubah, masih sama seperti terakhir kali ia mendatangi tempat ini. Harum bunga masih dapat ia hirup pun keheningan masih menjadi sesuatu yang identik dengan tempat ini. Satu-satunya yang berubah adalah tak ada lagi Hadinata dan Zio.
Bersimpuh sembari berdoa dilanjutkan dengan bercerita menjadi kegiatan yang tidak akan dilewatkan. Beberapa pengunjung terihat berlalu lalang dengan sebuah bunga di genggaman. Wajahnya terlihat sendu, apa mereka masih sangat berduka karena kehilangan orang tercinta? Apa mereka juga belum bisa merelakan?
Bunga yang sejak tadi ia bawa sudah berpindah tempat. Bunga tersebut kini bergabung bersama dengan bunga lainnya. Pandangannya perlahan mulai memburam. Tidak akan ada yang mengeluh jika ia menangis kencang. Bukankah mereka semua merasakan kesedihan yang sama? Perasaan duka yang mendalam karena seseorang yang begitu dikasihi telah pergi meninggalkan untuk selama-lamanya.
"Hari ini toko bunga ramai." Esha menatap lurus ke satu titik.
Meski tau tak akan mendapat sebuah balasan ia tetap melanjutkannya. "Bunga di sana memang cantik, pasti banyak yang datang." Esha terkekeh kecil menyadari keanehannya.
"Apa hari ini banyak orang yang merayakan sesuatu sampai toko bunga ramai?" tanya Esha kepada diri sendiri, "atau mungkin mereka beli bunga karena mau ke sini," lanjutnya.
"Hari ini banyak yang merasa kehilangan, aku termasuk." Esha menundukkan kepalanya.
"Kenapa aku harus kehilangan lagi? Kenapa aku harus kehilangan untuk kedua kalinya?" Mengangkat kepalanya kini Esha tersenyum getir menatap nisan yang sejak tadi tidak berani ia tatap.
Pandangannya mengabur, berharap yang berada di hadapannya bukanlah pusara yang kini mengubur seseorang yang begitu ia kasihi. Namun, semuanya hanya harapan karena tepat di depan matanya gundukan tanah berhiaskan bunga menjadi hal yang dapat dengan jelas ditangkap oleh kedua matanya.
"Kenapa aku harus ditinggal lagi? Padahal masih banyak yang belum sempat aku sampaikan. Masih banyak hal yang mau aku lakuin bareng-bareng. Tapi ternyata udah gak bisa."
Menarik napasnya Esha mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. "Kalau ada kesempatan buat putar waktu. Aku tetap akan memilih jalan ini."
"Aku bodoh ya? Seharusnya aku pilih gak perlu kenal Mas Nata dan Zio supaya aku gak harus merasa kehilangan," ujarnya.
"Tapi, walau cuma sebentar aku tetap mau ketemu Mas Nata dan Zio. Aku tetap mau pergi main timezone bareng, makan cake di kanacake, jadi walinya Zio di sekolah, nginep di vilanya Mas Nata, main games malam-malam, diajarin berenang. Aku tetap pilih melakukan itu. Setidaknya ada banyak hal menyenangkan yang bisa aku ingat. Kalau sewaktu-waktu aku kangen aku bisa ingat hal-hal itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Right Woman On The Right Place [END]
FanfictionPertama kali mendapatkan tawaran untuk menjadi pasangan kontrak selama satu bulan terdengar begitu aneh dan tidak biasa. Orang gila mana yang mau bekerja menjadi pasangan kontrak? Ya, Esha termasuk ke dalam orang gila itu. Mencari pekerjaan begitu s...