Empat Puluh Satu

1.4K 66 7
                                    

"Berarti Mas sengaja beli mobil baru?" tanya Esha begitu keduanya duduk di teras rumah Esha.

Beberapa jam yang lalu ketika Hadinata mengabarinya telah berada di depan rumah, Esha sedikit kebingungan karena tak melihat mobil yang biasa digunakan Hadinata. Hanya ada satu mobil yang terparkir di depan rumahnya, dengan sedikit ragu ia menghampiri mobil tersebut dan melihat Hadinata yang duduk dibalik kemudinya.

"Iya, biar lebih mudah kalau ganjil genap," jawab Hadinata dengan tangan yang memainkan jemari Esha.

"Beli mobil cuma karena ganjil genap?" Esha menatap tak percaya ke arah Hadinata sedangkan Hadinata sendiri masih serius menggengam tangan Esha membaliknya kemudian mengusapnya.

"Iya."

"Tapi yang Mas beli audi. Audi loh Mas." Esha menarik tangannya membuat Hadinata mengangkat kepalanya.

"Ya terus kenapa? Sama-sama mobil."

"Ya emang sama-sama mobil. Tapi yaudah deh. Terserah Mas aja." Esha mengalihkan pandangannya menatap halaman rumahnya yang kini mulai dipenuhi tanaman liar.

"Mas juga kenapa sih, dari tadi tangan saya dipegangin terus. Saya kan gak bakal ilang. Gak kemana-mana juga." Esha menggerutu membuat Hadinata tersenyum.

"Jangan senyum-senyum. Mas aneh banget hari ini."

"Padahal saya lagi gugup," ucap Hadinata dengan pandangan yang tidak lepas dari wajah Esha.

Menaikkan sebelah alisnya Esha menatap penuh selidik. "Gak keliatan gugup. Emangnya gugup kenapa? Mas mau ngelamar anak orang gitu?"

"Iya."

"Oh, pantes gugup." Esha mengangguk mengerti sebelum akhirnya tersadar mengenai sesuatu. "Apa? Lamar siapa?"

"Lamar kamu emangnya lamar siapa lagi?"

"Kok gak ada romantis-romantisnya sih Mas? Apa kejutannya ada di dalam rumah saya? Di dalam pasti udah dihias terus ada keluarga sama temen-temen saya kan, Mas." Esha hendak bangkit dari duduknya, tetapi Hadinata kembali menahannya.

"Gak ada yang kaya gitu." Hadinata menggeleng sembari meminta Esha untuk kembali duduk.

"Yah kok gitu, terus gini aja?"

"Iya karena saya bingung gimana cara ngelamar kamu."

"Kan Mas udah pernah nikah."

"Dulu saya gak ngelamar Elin orang tua kami yang langsung bicarain hal itu. Saya dan Elin gak menolak saat itu karena ya kami pikir gak ada salahnya."

Esha terkejut tentunya, satu hal lagi yang baru saya ia ketahui mengenai pernikahan Hadinata sebelumnya.

"Saya minta saran sama Daffa. Tapi dia malah kasih saran aneh-aneh katanya karena saya pilot lamar aja pas lagi di bandara atau lamar pas kamu dan saya lagi di pesawat. Dia juga saranin buat kasih kamu cincin yang dititipin ke pramugari nanti saya buat suratnya yang isinya saya minta kesedian kamu untuk menikah. Nanti setelah itu saya akan keluar dari kokpit dan lamar kamu secara langsung. Saya gak tau dari mana Daffa lihat hal ini sampai punya saran kaya gitu." Hadinata mengusap keningnya merasa sia-sia bertanya mengenai cara melamar perempuan kepada Daffa yang bahkan sampai saat ini hubungannya masih belum memiliki kejelasan.

"Tapi lucu juga kalau kaya gitu Mas. Berhubung Mas udah jujur saya akan apresiasi hal itu. Mas mau lamar saya kan?" tanya Esha yang dibalas anggukan cepat oleh Hadinata.

"Yaudah Mas, mana cincinnya." Esha mengulurkan tangannya meminta cincin yang akan digunakan Hadinata untuk melamarnya.

Hadinata menatap tangan Esha yang terulur. "Kamu gak mau dengerin kata-kata dari saya dulu?"

"Mana? Ada?" Esha mengubah posisi duduknya menjadi menyamping memudahkannya untuk menatap Hadinata.

"Kenapa lamarannya jadi kaya gini?" Hadinata tertawa kecil membuat Esha ikut tersenyum merasa aneh dengan situasi keduanya yang sangat berbeda dengan orang biasanya.

"Esha, awalnya saya pikir saya gak akan sejauh ini bersama kamu. Mengenal dan bertemu kamu akan selalu menjadi hal yang saya syukuri. Terima kasih karena kamu selalu mendukung saya dan mau menerima saya juga Zio. Saya pernah menyakiti kamu, tetapi kamu masih berbaik hati untuk menerima saya kembali. Dengan segala kekurangan yang saya miliki. Apa kamu mengizinkan saya untuk menjadi bagian dari rumah seperti lagu kesukaan kamu yang pernah kita bicarakan? Dan apa kamu bersedia untuk menjadi rumah bagi saya?"

Pandangan Esha mengabur. Suaranya terasa tercekat, tetapi kedua sudut bibirnya semakin tertarik membentuk sebuah senyuman. Tanpa ragu Esha mengangguk dengan air mata yang perlahan mulai membasahi pipinya. "Retoris Mas. Saya pasti mau."

Esha tertawa bersamaan dengan matanya yang semakin memburam. Tangan Hadinata bergerak mengusap pipinya kemudian menarik Esha ke dalam pelukannya. Esha menghamburkan dirinya ke dekapan Hadinata yang terasa menenangkan. Balas memeluknya tak kalah erat. Mungkin bukan lamaran seperti ini yang ia impikan, tetapi hal ini terasa cukup untuknya. Meskipun tak mudah untuk berada di hari ini dan mungkin akan semakin banyak pula kesulitan yang akan dihadapi, Esha percaya jika sesuatu ditakdirkan untuk menjadi milikmu, sesulit apa pun itu pasti akan tetap menjadi milikmu. Kini Esha sudah berada di posisi yang tepat, di posisi seharusnya ia berada bersama dengan Hadinata dan Zio.

***

Akhir.

The Right Woman On The Right Place [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang