Perempuan bercelana jeans dengan kemeja kotak-kotak itu kini tengah memfokuskan arah pandangnya ke arah pemukiman yang sangat padat akan rumah-rumah kayu yang saling berhimpitan satu sama lain, atap yang hanya menggunakan asbes sehingga membuat hawa panas di dalamnya, dinding kayu yang membuat celah-celah sehingga angin dan nyamuk bisa dengan mudah masuk.
Dan tumpukan sampah yang ada di mana-mana namun, tidak membuat anak-anak penghuni kompleks itu berhenti bermain di sana. Kelopak matanya memejam, merasakan angin malam yang menerpa wajahnya sehingga membuat bayangan masa lalu melintas di bena perempuan tersebut. Ia sedikit bernostalgia.
Baju dekil yang masih layak pakai terpakai sempurna di tubuh ke-empat anak tersebut, tiga perempuan dan satu laki-laki. Usia mereka hanya terpaut beberapa tahun saja, anak pertama perempuan dengan kulit putih itu hanya berumur dua belas tahun, anak kedua perempuan dengan kulit kuning langsat berusia sembilan tahun, anak ketiga lelaki dengan kulit putih juga berumur enam tahun, dan anak perempuan terakhir yang memiliki kulit lebih terang dari yang lainnya berumur empat tahun.
Tidur himpit-himpitan, tarik menarik selimut sehingga saling mendekap untuk mencari kehangatan. Anak perempuan pertama memilih keluar rumah karena tidak tahan dengan nyamuk yang terasa sangat banyak menyerang tubuh, anak berkulit kuning langsat itu mengikuti sang kakak. Matanya melirik kedua orangtuanya dan kedua adiknya yang tertidur lelap.
"Kak."
Ia melirik sang adik yang sekarang memilih duduk di dekatnya, bibirnya terangkat. Memberikan senyuman hangat.
"Aku udah gak kuat, kapan kita bisa keluar dari kehidupan ini, bun?" tanyanya kepada sang adik yang di panggil 'bun'
Keduanya terdiam dalam keheningan, mengabaikan suara anjing yang menggonggong di malam hari, suara jangkrik yang saling bersahutan, suara katak bernyanyi saat turun hujan, suara nyamuk di sekitar tumpukan sampah, dan suara angin yang berhembus.
Tidak perlu ada luka lagi, mereka sudah merasakan pahitnya hidup di dunia ini.
Perempuan tersebut kembali tersadar saat suara klakson kendaraan yang saling bersahutan, kepalanya menggeleng kuat. Lalu ia kembali tersenyum, tidak perlu ada yang ia sesali.
Kakinya dengan riang melangkah meninggalkan jembatan layang tersebut, melemparkan senyum ke arah pemukiman yang sekarang sedikit lebih baik dari sebelumnya.
•••
Embun Katya Jaya anak kedua, memiliki kulit tidak seputih saudara-saudaranya ia hanya gadis berkulit kuning langsat. Bahkan ia sendiri heran, mengapa ia berbeda sendiri dengan saudara-saudaranya yang kebanyakan berkulit putih. Oke mungkin Embun tidak ikut qobil qabil yang memiliki kulit hitam putih, Embun di tengah-tengah mereka.
Banyak orang mengatakan biasanya anak pertama yang katanya bahan percobaan akan terlahir lebih jelek dari anak kedua, namun kali ini Embun mematahkan kebiasaan itu. Kakaknya lebih cantik dari Embun, bahkan ia memiliki kulit putih seputih salju sama dengan namanya. Salju Katya Jaya.
Mungkin Embun disini yang merasa kurang beruntung karena mengingat paras saudara-saudaranya yang sangat cantik dan tampan, tidak bisa Embun pungkiri bahwa Embun iri dengan mereka. Tapi, Embun mencoba terima kasih kepada tuhan karena tidak memberikannya kulit biru seperti krisna.
"Bun," Embun menarik kembali tangannya yang akan menarik gagang pintu setelah mendengar namanya terpanggil.
Ia melangkahkan kakinya anggun ke arah Embun, senyum hangatnya masih tercetak jelas walaupun ada gurat kesal di wajahnya. Ia masih bisa dan berusaha menyembunyikan rasa capeknya saat sudah bertemu keluarga, ini salah satu yang Embun kagumi memiliki kakak sehebat dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT RASA
RomanceEmbun yang mengikuti alur hidup seperti air, Gema si lelaki seperti red Velvet yang mempunya sifat aneka rasa. Seperti red Velvet, perpaduan berbagai rasa yang unik. Dan Biru, lelaki melow namun Embun sayang. Ketiganya seperti perpaduan red Velvet y...