4. K O M P O N E N ✓

28 16 3
                                    

Air, menurut papanya dulu komponen yang menurutnya sangat penting adalah air. Bahkan Embun kerap bertanya, Kenapa tidak memilih udara? Dan beliau tetap memilih air.

"Papa punya sumber air dari ke empat anak papa," jawabnya kala itu sambil memangku  tubuh kecil Embun.

Tangan Embun mengusap foto usang hitam putih yang baru saja ia ambil di balik bantal, disana ada Embun yang dulu masih berumur lima tahun, Salju yang berumur delapan tahun, dan Zam-zam yang masih sangat kecil di pangku oleh sang papa, dan juga perut ibunya yang belum membuncit karena saat itu tengah mengandung Rain.

Senyum mereka yang terlihat sangat bahagia karena saat itu mereka masih bisa selayaknya manusia pada umumnya.

Aku masih ingat jelas foto ini di ambil pada acara ulang tahun ka Salju yang ke delapan tahun. Hingga akhirnya entah kejadian apa sehingga membuat kami terdampar di kompleks sampah, yang masih aku ingat saat itu dan masih terdengar jelas di telingaku ada suara gaduh dari beberapa orang di ruang tamu.

"Ayah aku bahagia hidup dengan keluarga baru ini, dan hati ku tulus memeluk agama islam." suara ibunya kala itu sangat terdengar perih, dan dapat Embun simpulkan bahwa pria paruh baya itu adalah Bapak dari ibunya.

"Akan ku pastikan hidup kamu menderita, Kalista!" ucap pria itu dan menutup pintu rumah kasar.

Embun pikir usaha papanya saat itu yang tadinya lancar-lancar saja berubah menjadi roboh karena apes saja, dan ternyata itu semua adalah atas campur tangan pria tua yang sempat ibunya panggil 'Ayah' karena beberapa kali semua usahanya gagal yang mengakibatkan keluarga itu terdampar di tumpukan sampah.

Tidak pernah Embun pikirkan sama sekali, kenapa ada orang tua yang sebegitu teganya melihat kehancuran anaknya sendiri. Hingga Embun mengerti sampai sekarang ini, mengapa papanya menamai anak-anaknya semua dengan arti air. Papanya ingin anak-anaknya jadi komponen utama dan paling utama, mengalir seperti air.

"Papa! Ibu!! Embun rindu," Kedua mata Embun sudah sedikit memanas, ternyata bukan hanya Biru yang merindukan sosok Ibu. Embun juga.

Langkah Embun mengayun ke arah luar kamar, dan tidak lupa untuk mengunci kamar. Itu sudah menjadi kebiasaannya agar tidak ada orang yang masuk agar mereka tidak kaget karena isi kamar Embun yang berbeda.

Bola mata Embun menangkap pergerakan lelaki berseragam putih abu-abu itu memasuki rumah, tangannya membanting kasar pintu rumah dan melemparkan tas ranselnya ke arah sofa disusul pula dengan tubuhnya yang ikut berbaring. Kaki Embun berayun cepat menuruni anak tangga saat melihat beberapa luka lebam di wajah putihnya.

Tampilannya acak-acakan, meskipun setiap harinya pakaian yang lelaki itu kenakan jauh dari kata rapih. Namun, hari ini seragamnya kucel dan ada sedikit noda kotor di sana.

"Zam ..." panggil Embun duduk di sebelahnya, bahkan rok tutu dan kemeja putih Embun masih melekat di tubuhnya.

Tubuhnya beranjak dari tidurnya, ia menegakan tubuhnya untuk duduk. Ia sedikit memalingkan wajahnya, agar Embun tidak bisa melihatnya secara jelas. Namun tangan Embun terulur untuk menangkap kedua pipinya agar menghadap ke arah Embun, berbagai luka memar menghiasi wajah putihnya. Embun akui Zam-zam adalah adik lelakinya yang paling tampan, kulitnya putih seperti milik Ibunya, matanya sedikit sipit seperti ibunya juga. Karena ibunya adalah keturunan China itu sebabnya Salju dan kedua adiknya memiliki kulit putih.

"Zam ..." panggil Embun saat ia menepis kedua tangannya dari pipinya.

"Jelasin ... " Dia sama sekali tidak bersuara dan enggan berbicara "Kamu tauran?" tanya Embun lebih tepatnya menuduh, karena hal itu pasti di sangkal oleh Zam-zam.

Dia menggeleng kuat, matanya menyorot ke arah Embun. Bisa Embun  lihat dengan jelas ia tengah menahan amarah, bahkan urat-uratnya menonjol di sekitar leher putihnya.

BERTAUT RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang