11. T E M A N L A M A ✓

20 12 1
                                    

"Embun Bukan?"

Kedua mataku sedikit melotot kaget karena mendapati tiga orang lelaki dengan pakaian berantakan kini sudah ada di hadapanku, pakaian yang mereka kenakan masih terlihat bersih walaupun celana yang mereka kenakan sengaja di robek-robek.

Warna kulit mereka terlihat bersih tidak terlihat dekil atau kotor seperti kulit-kulit kotor anak jalanan pada umumnya, warna rambut mereka berwarna seperti anak punk pada umumnya. Dan tidak lupa dengan tindikan di telinga mereka, mereka terkesan sangat berandal.

"Juan... Dito... Akas..." tebakku memanggil nama mereka satu persatu yang masih teringat jelas dalam ingatanku.

Juan berdecak heran dan menyugar rambut pirangnya kebelakang, lalu senyumnya terbit ke arahku. "Gimana kabar?" tanyanya yang sekarang sudah menggiringku berjalan agar duduk di kursi di pinggiran toko yang sudah tutup.

"Gwe baik ... Kalian?"

"Bisa loe lihat ... kita semua baik," jawab Dito yang memilih duduk di emperan tanpa alas sama sekali.

Akas memainkan gitar kecil yang ada di tangannya pelan, tidak ada sama sekali pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Berbeda dengan dua temanku yang kebanyakan bertanya, wajar saja sih kita sudah lama tidak bertemu. Terakhir kali saat aku duduk di bangku SMP, dan berpisah setelah lulusan karena mereka memilih tidak melanjutkan sekolah karena alasan 'Orang-orang kayak kita udah bisa sekolah sampai Smp saja bersyukur banget, apalagi status kita yang hanya anak jalanan...'

Padahal menurutku kalau kita mau berusaha untuk terus bisa dan yakin kalau diri sendiri lah yang akan mengubah status itu, namun ... aku berfikir seperti itu setelah hidupku serba kecukupan karena ka Salju sudah mengangkat derajat keluarga. Coba saja kalau kami masih hidup di tumpukkan sampah itu, mungkin aku juga berfikir seperti teman-temanku.

"Ngapain malam-malam masih di luaran, Bun?" tanya Dito yang berhasil membuatku mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Gue nunggu Biru ... Rencananya dia mau antar gwe ke rumah sakit."

Juan terkekeh ke arahku, "Kalian berdua masih aja ya, lengket? Gak heran juga sih, dulu si Akas sampai secemburu itu."

Mendengar itu seketika membuat aku menengok ke arah Akas yang sekarang sudah sibuk dengan handphone dari pada gitar kecil tadi, entah mendengar perkataan dari Juan atau tidak tapi aku pastikan telinganya terbuka lebar untuk mendengarkan aku berbicara.

Kepalaku menunduk dan tersenyum kecil saat mengingat kejadian dulu, ah cinta monyet yang sangat me-monyetkan.

"Hmm ... Kita sedari dulu masih sama aja kok, sahabat."

"Gak pacaran?" tanya Dito.

"Wah ... Gue rasa si Biru guy kalau misalnya dia gak suka sama loe." tambah Juan setelah melihatku menggelengkan kepala.

Aku rasa omongan Juan tidak benar, buktinya Biru selalu gonta-ganti pacar. Dan diantaranya, bukan diantaranya ... Semua mantannya melabrak ke padaku karena tidak suka melihat kedekatan kami berdua.

Dan aku? Jelas aku normal, hanya saja aku tidak menyukai Biru sebagai laki-laki tapi menyukainya sebagai sahabat. Normal-normal saja sih menurutku, buktinya aku dulu pernah menyukai ka Gema.

"Loe gak jijik kan sama kita bertiga?" tanya Dito yang berhasil membuatku melotot ke arahnya, jijik? Sama sekali tidak.

"Gak usah mulai, Dit." Gertakku sedikit kesal, pasalnya Dito selalu saja bilang seperti itu.

"Bahkan gue gak merasa malu punya teman kayak kalian, malah gue yang seharusnya bersyukur punya teman-teman kayak kalian." tambahku lagi memperjelas pertemanan tidak bisa diukur oleh status dan kasta yang berbeda.

BERTAUT RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang