9. H A R R I ✓

21 13 3
                                    

Tangan kanan Embun berhenti di udara saat ia akan menarik gagang pintu bilik toilet, suara beberapa orang yang familiar di telinganya mencegahnya untuk tidak keluar.

"Untung Dokter gema cekatan tadi, kalau nggak bisa melayang itu nyawa orang."

"Bisa-bisanya nyawa orang dia mainin!"

Suara itu sangat Embun kenal dan obrolan dari mulu mereka tidak juga salah, Embun sudah sangat ceroboh.

"Lagian gue gedek sama tuh si Embun, mentang-mentang dia tunangan Dokter Gema kayak sok banget gak, sih?"

"Iya bener, gue jadi curiga jangan-jangan dia pake pelet. Secara Dokter Gema kan cakep plus tajir mana mau dia sama cewek modelan Embun, ya gak?"

Mulut Embun berdecak pelan, pelet? Perempuan gila mana yang memakai pelet di jaman sekarang? Sudah jelas jawabannya itu adalah Gema menerimanya hanya karena semata-mata menyelamatkan kakaknya, Berlin. Tidak ada alasan lain lagi mengingat Embun yang sudah ditolaknya mentah-mentah saat dua tahun yang lalu.

"Malah gue curiga kalau dia itu jual murah,"

"Dokter Gema gak bakal mau kali."

Kedua mata Embun sudah terpejam guna menghilangkan rasa tidak nyaman di hatinya, Embun harus pintar-pintar mengatur emosinya. Mengingat perkataan sosok Bapak yang sangat Embun ingat, jikalau perempuan yang baik itu adalah perempuan yang bisa menahan amarahnya, karena apa? Karena sekalinya orang emosi akan tidak bisa mengontrol ucapannya dan ucapan itu bisa saja melukai perasaan orang lain.

'Brakk...'

Embun sudah tidak bisa menahannya lagi namun suara gebrakan itu bukan dari Embun.

"Ada aja, ya? Orang-orang julid di toilet ini? Kayaknya benar deh, toilet disini ada makhluk halusnya. Buktinya mulut-mulut bau kalian kayak setan,"

"Maaf dok, kami permisi." ucap Seorang perempuan yang Embuh kenali adalah salah satu suster yang ada di ruang operasi tadi.

Dengan rasa penasaran perlahan Embun membuka gagang pintu yang sedari tadi ingin ia buka, perempuan seusia Salju dengan rambut pendek sebahu dan juga jas putihnya yang masih melekat di tubuhnya menandakan kalau dia adalah seorang dokter yang ada di rumah sakit ini.

Ia tersenyum manis ke arah Embun,  langkah kaki Embun dengan pelan berayun ke arah wastafel yang berada di dekat perempuan anggun itu.

"Embun, kan? Tunangannya Dokter Gema?"

"I-iya," jawab Embun bingung, "Makasih ka,"

Kedua alisnya terangkat bingung dapat Embun lihat dengan jelas saat ia bicara terdapat behel yang menghiasi gigi atasnya, entah mengapa behel kawat itu malah terlihat manis di wajah cantiknya.

"Gak usah makasih, lagian mereka perlu di hajar sekali-kali." jawabnya dengan kekehan diakhir kalimat.

Keren, ia terlihat sangat keren saat membawakan perannya.

"Hari."

Aku bingung mendengar perkataannya yang aneh itu, "Selasa,"

Ia tertawa mendengar respon yang Embun berikan, dan itu semakin membuat Embun kembali kebingungan.

"Nggak, maksud saya bukan itu. Nama saya Harri . . . Dobel R, ya."

Hah? Embun jadi malu sendiri dibuatnya, Embun pikir ia menanyakan sekarang hari apa? dan ternyata dia mengenalkan dirinya sendiri.

"Kok aku belum pernah lihat Dokter Harri, ya sebelumnya?" tanya Embun setelah keluar bersamaan dari toilet wanita.

"Udah dua bulan saya ada tugas di bandung, jadi wajar kalau anda belum mengenal saya," jelasnya dengan nada sangat ramah.

BERTAUT RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang