14. B E R A K H I R ✓

11 8 6
                                    

Aku melirik keberadaan Akas di sampingku, lelaki itu masih terlihat gusar dan penuh kekhawatiran di wajahnya. Operasi sudah berlangsung sekitar empat jam, dan biasanya operasi tidak memakan waktu yang sedikit. Butuh waktu banyak untuk memperbaiki permasalahan di organ manusia.

Akas kembali berdiri, kemudian menengok ke arah pintu yang masih tertutup lalu kembali duduk. Hanya gerakan itu dan itu saja yang sedari tadi Akas lakukan, sama sekali tidak melakukan kegiatan lainnya.

"Tenang, kas. Dokter Gema pasti ngelakuin yang terbaik," ucapku menenangkan lelaki di sampingku.

Akas melirik keberadaanku, kemudian aku menganggukkan kepala kecil untuk meyakinkan semua yang aku katakan benar adanya.

Aku menghela nafas pelan, bersandar di tembok cat putih rumah sakit tersebut. Memeluk kuat jas putih yang sudah aku lepas, kemudian menutup kelopak mata sebentar. Ah, melihat sifat Akas ini malah semakin membuat aku yakin kalau lelaki itu sama sekali tidak pernah berubah. Lelaki itu masih sama dengan Akas remaja yang aku kenal, egois, cemburuan, tidak mau mendengar alasan, intinya dia akan menyimpulkan apa yang ia lihat.

Kala itu kami semua masih duduk di bangku putih biru, Aku, Biru, Akas, Juan, dan Dito. Kami masih berhubungan baik meskipun aku dan Biru sudah tidak tinggal di kompleks sampah itu, bahkan persahabatan kami malah semakin erat. Itu menurut pemikiran aku.

Sehingga tanpa kami sadari ada perasaan lebih diantara kami, iya ... aku dan Akas. Disitulah aku percaya kalau rasa itu yang dinamakan Cinta, lebih tepatnya Cinta monyet yang menurutku sangat me-monyetkan itu.

"Bun," Aku melirik keberadaan Akas yang kala itu mengaitkan ranselnya di pundak kanan.

"Haus, gak?" tanyanya dengan langkah kami yang masih berjalan keluar perkarangan sekolah.

Aku tersenyum kemudian mengangguk yang memang pada dasarnya cuaca pada siang menjelang sore kala itu terasa sangat panas, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Kemudian menarik tanganku untuk mendekat ke salah satu grobogan penjual es kelapa muda.

"Bang, Es kelapanya dua," ucap Akas yang membuat si Abang es kelapa muda itu langsung berjalan ke arah grobogan nya karena ia sedang mengobrol dengan pedagang lain.

Tanganku terulur untuk menerima plastik yang berisi es kelapa tersebut, kemudian aku menyerahkan satu lembar uang dua ribu rupiah kepada sang pedagang. Yang memang pada dasarnya kala itu es yang aku minum hanya bernilai seribu rupiah saja.
Akas melirikku tajam, aku tidak tahu apa kesalahanku kala itu.

Ekspresi wajah Akas sangat masam kala itu, kemudian menyerahkan plastik es kelapa muda yang berada di genggamannya kepadaku.

"Kas," ucapku bingung.

Akas berjalan cepat sehingga membuat aku sulit mengimbangi langkahnya.

"Akas!!"

Langkah Akas berhenti ketika aku berhasil memblokir akses jalannya, kepalanya mendongak ke atas dan tangannya mengguyar rambutnya yang sedikit pirang ke belakang. Kemudian, Akas menatapku dengan tatapan tidak bersahabat.

"Nih," Aku menyodorkan plastik es kehadapannya.

Senyumku terbit kala Akas mengambil uluran tanganku kala itu, namun naas plastik tersebut dibantingnya ke arah jalanan beraspal sehingga membuatnya berserakan.

"Gue gak semiskin itu, untuk beli es seribu rupiah saja gue masih mampu Embun!"

Aku terdiam, pertama kalinya aku mendengar Akas berbicara dengan nada tinggi kala itu. Jari-jemari ku sudah saling bertautan, kakiku mundur selangkah bersamaan dengan suara Akas yang terdengar menyakitkan itu.

BERTAUT RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang