Dalam kehidupan, tidak tahu siapa yang datang dan tidak tahu siapa yang pergi. Namun boleh kah aku menjawab untuk tidak mengambilnya kala itu? Kematian? Kehilangan? Sungguh aku belum siap.
Tubuhku meringkuk sempurna di kasur lantai yang sudah tergelar, melepaskan semua rasa sesak yang selama ini aku tahan-tahan. Perkataan terakhir Papa yang menyuruhku untuk tidak menangis sangat terngiang-ngiang, namun untuk kali ini izinkan aku untuk berpura-pura tidak mendengar kalimat itu. Anakmu ingin menangis, pa.
"Hikss ... Papa, ibu. Embun kangen!"
"Jenguk Embun di mimpi pa .. bu .." Tanganku melipat didada, merasakan hawa hangat yang menyelimuti.
"Jenguk embun, jangan datangkan Embun dengan kecelakaan itu!"
Kakiku melangkah kesalah satu dokter yang masih berada disana kala itu, menarik jas putih yang melekat indah di tubuh dokter perempuan kala itu. Perempuan itu tersenyum kemudian berjongkok di hadapanku, kemudian tangannya mengelus kepalaku lembut lalu beralih memegang pundakku yang masih sedikit basah karena darah.
Mataku menatapnya penuh harap kala itu, "Embun gak tahu apa yang terjadi ... Tapi, embun mohon buat Papa dan Ibu embun kembali membuka mata,"
Dokter itu malah membawaku ke dalam pelukannya, tidak kah ia pikir kalau aku menaruh banyak harapan kepadanya? Tetapi ia malah memelukku kala itu.
"Embun ..." Suara Ka Salju membuatku langsung melepaskan pelukan perempuan di hadapanku kala itu.
Dahinya sudah diperban, kedua matanya memerah karena menangis, baju cantik yang aku puji sudah berwarna merah karena darah, dan itu pertama dan terakhir kali aku melihat ka Salju sebegitu berantakannya.
"Maafin kakak, ini semua gara-gara kakak. Kalau saja kakak ngikutin omongan Papa untuk tidak pergi pemotretan pasti kita masih ada di rumah, nggak terdampar di sini," Ka Salju memelukku berasa bersalah.
Kecelakaan itu membuat ka Salju dihantui rasa bersalah sampai detik ini, ketiga adiknya adalah beban yang ditinggalkan jadi tanggung jawabnya seumur hidup, masa mudanya habis oleh rasa tanggung jawab itu, waktunya habis demi jadi tulang punggung keluarga. Ka Salju ... Perempuan hebat yang aku punya. Aku berani mengambil keputusan untuk bertunangan dengan Gema karena aku tidak ingin melihat Ka Salju hancur untuk kedua kalinya.
Dan, baru aku sadari hal ini. Perkataan Papa yang ingin melihat salah satu anaknya menjadi dokter sudah aku wujudkan, namun aku menyadari betul kesalahan itu. Itu bukan keinginanku, bukan juga cita-cita yang aku impikan. Ka Salju, itu mimpi ka Salju yang diberikan kepadaku. Dan aku berhasil mewujudkan mimpi itu, walau aku menyadari tidak ada kerja keras di dalamnya. Terasa Semu.
"Ternyata bukan Biru saja yang serakah. . . gue juga serakah, Bir." ucapku dengan mata sudah tertutup. "Gue nyuri Cita-cita ka Salju,"
••••
Seorang lelaki remaja kini sudah duduk manis di hadapan televisi, padahal tubuhnya sudah lengkap dengan seragam putih abunya tetapi lelaki itu tidak berangkat ke sekolah. Dan juga jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, namun lelaki itu masih ber-duduk santai sambil menikmati kartun di pagi hari itu. Ditambah tangannya memeluk sebuah toples berisi keripik singkong.
"Zam," panggil perempuan itu yang baru saja turun dari anak tangga.
Lelaki remaja itu menengok ke sumber suara kemudian kembali menatap layar televisi di hadapannya, menggeser duduknya seolah menyuruh sang kakak untuk duduk di sampingnya.
"Gak, sekolah?"
"Bentar lagi berangkat, gurunya lagi rapat," Jawabnya dengan mata masih menatap layar televisi. "Tumben udah rapih, kerja?" tanyanya yang sekarang sudah fokus dengan penampilan perempuan yang ada di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT RASA
RomanceEmbun yang mengikuti alur hidup seperti air, Gema si lelaki seperti red Velvet yang mempunya sifat aneka rasa. Seperti red Velvet, perpaduan berbagai rasa yang unik. Dan Biru, lelaki melow namun Embun sayang. Ketiganya seperti perpaduan red Velvet y...