Langkahku mengayun cepat ke arah pintu toilet, semenjak skandal itu muncul dan semakin hari menipis tidak ada sama sekali kejelasan dari kakakku. Dan itu membuat aku sedikit emosi karena tidak ada respon dari ka Salju, dan sialnya instingku mengiyakan skandal itu.
Tidak ada perbuatan dari kakakku untuk menghentikan tunangan yang sama sekali tidak ada dalam daftar rencana yang aku tulis, ditambah lelaki bernama Samudera itu seperti mendukung skandal itu untuk di iya kan.
Oh, shit!
Tangan kokoh nan kekar meraih tangan kananku, ia mendorong tubuhku ke dalam bilik toilet sehingga punggungku terpental sedikit keras ke tembok bercat putih halus itu. Matanya menyorotku tajam, kedua rahangnya sedikit mengeras dan perubahan warna di wajahnya semakin memperjelas bahwa lelaki di hadapanku ini tengah menahan amarah terhadapku.
"Ka," lirihku kaget atas sikapnya yang tiba-tiba, bahkan jantungku masih berdetak cepat karena kaget.
"Jangan kayak gini," ucapku mencoba melepaskan cengkraman kuat tangannya.
Sebisa mungkin aku mengalihkan tatapannya, kepalaku memilih menunduk dari pada melihat lelaki berwajah tampan yang sekarang tengah menahan emosi terhadapku.
"Apa yang loe bilang sama Sam?" tekannya dan aku jawab dengan gelengan kuat, "Mustahil," Gertaknya melepaskan cekalannya pada tanganku.
"Gue lihat Sam sampai nendang kursi setelah ngobrol sama loe!"
Kepalaku mendongak ke arahnya, tidak ada mata berkaca-kaca dan senyuman sama sekali. "Setidaknya dia melampiaskan pada barang, bukan sama fisik." ucapku dengan tangan memegang pergelangan tangan kananku karena terasa perih akibat cengkeramannya yang kuat.
Dapat kulihat dengan jelas bola mata lelaki itu mengecil, tidak lagi membesar seperti tadi bahkan matanya melirik ke arah pergelangan tanganku.
"Permisi," ucapku keluar dari bilik toilet.
Ada rasa nyeri di ulu hatiku, tidak pernah aku sangka lelaki pertama yang aku idolakan setelah Ayah, lelaki yang pernah aku sukai, dan lelaki yang sudah menjadi status tunangan bisa berfikiran seperti ini. Definisi macam apa ini, tuhan?
Langkah ku melewati pesta yang masih ramai ini, bergerak menaiki anak tangga ke arah lantai dua dan memasuki kamar yang selalu aku kunci.
Mataku meneliti keadaan isi kamarku, telingaku masih bisa mendengar suara musik yang di putar dari lantai satu. Namun, meskipun aku berteriak sekencang apapun tidak akan ada yang mendengar.
"Aaaaaaa ...." teriakku sejadi-jadinya karena merasa kesal dengan hidup yang aku jalani, tidak ada rasa cemas apabila ada orang yang mendengar teriakkan yang berasal dari kamarku. Aku sudah memasang pereda suara di dalam kamarku, dan itu hanya aku yang tahu.
Kedua bola mataku semakin memanas dan menumpahkan isinya, sudah cukup bagiku untuk sebulan ini memberikan waktu kepada kakakku untuk menjelaskan. Namun, sama sekali tidak ada kalimat penjelas yang keluar dari mulutnya. Dan ia selalu menghindar.
Mataku mengitari sekitar, tidak ada sebuah ranjang hanya ada sebuah kasur lantai yang tergelar di atas lantai, hanya ada meja belajar dan meja rias berukuran sedang berdiri di pojokan dan satu kasur lantai yang tergelar di atas lantai. Isinya sama sekali tidak seperti kamar kakak dan adik-adikku.
Tanganku bergerak melepaskan sepatu hak hitam yang sudah membuatku sulit bergerak hari ini, melemparnya ke arah pintu walk in closet.
''Jangan mempersulit hidup, bun."
Kalimat yang satu bulan lalu aku dengar dari mulut Biru, kini semakin terngiang di telingaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT RASA
RomanceEmbun yang mengikuti alur hidup seperti air, Gema si lelaki seperti red Velvet yang mempunya sifat aneka rasa. Seperti red Velvet, perpaduan berbagai rasa yang unik. Dan Biru, lelaki melow namun Embun sayang. Ketiganya seperti perpaduan red Velvet y...