8. B E N T A K A N ✓

19 12 3
                                    

Sudah jam setengah tujuh pagi lelaki bernama Zam-zam sudah berkutat di meja makan, menyiapkan beberapa roti untuk sarapan. Padahal tubuhnya sudah lengkap dengan seragam putih abu-abunya, tapi ia masih rela bermain asap di pagi hari itu.

Lelaki remaja SMA itu memang berguna di dapur, ia sudah memiliki bakat memasak sedari kecil. Karena ia memilih menemani ibunya memasak di dapur dari pada bermain dengan teman-temannya yang kebanyakan memamerkan mainan yang tidak dipunyainya.

Empat kakak-adik itu sudah duduk melingkar di kursi ruang makan, menikmati roti bakar yang sudah disiapkan oleh adiknya. Zam-zam. Bahkan Salju selaku kakak tertua sudah melarang sang adiknya untuk tidak melakukan hal ini dan mencoba mencari asisten rumah tangga lagi, namun Zam-zam menolak dengan tegas. Ia tidak ingin kejadian sepuluh tahun yang lalu terulang lagi.

"Bun." panggil Salju yang sudah mengakhiri sarapan paginya.

Merasa namanya terpanggil segera ia menelan sisa makanannya yang sudah ada didalam mulut, matanya menatap keberadaan Salju yang duduk tepat di hadapannya. "Kenapa?"

"Kamu yakin akan tetap lanjutin di Rumah Sakit Kencana?" tanya Salju serius, membuat perempuan bernama Embun itu menghela nafasnya pelan.

Embun pikir kakaknya akan bertanya, kamu yakin akan tetap lanjutin pertunangan tidak sehat ini? Namun sayang kakaknya sama sekali tidak pernah menyinggung pertunangan, salju seolah-olah menutup rapat mulutnya untuk tidak membahas soal pertunangan Embun dan Gema.

"Sudah terlanjur ka, lagian sudah sejauh ini."

Kenapa Embun malah merasa sudah salah memutuskan pilihan itu? Ia merasa terlalu gegabah mengambil keputusan yang seharusnya ditanyakan terlebih dahulu sama kakaknya, Embun merasa bodoh sendiri dan terjebak dengan pilihannya itu.

Tanpa memperdulikan wajah Salju yang terkejut karena mendengar kalimat Embun, Embun langsung beranjak dari duduknya dan segera berpamitan untuk berangkat.

Salah, iya. Perempuan itu merasa dirinya salah karena sudah menjawab perkataan kakaknya seperti itu, dan sekarang ia malah dilanda kecemasan karena merasa bersalah terhadap kakaknya. Lalu apa kabar dengan perasaannya? Apakah ia harus terus seperti ini? Lagian sudah terlanjur sesuai dengan perkataannya tadi, ia cukup menjalani dan mengikuti jalan yang sudah ia pilih. Menjalani bersama Gema, lelaki yang sudah membuatnya tidak nyaman. Apakah Embun siap?

Sepertinya tidak, setelah ia melihat binar kebencian dan kalimat-kalimat yang menohok ulu hatinya.

Perempuan itu segera memasuki pintu utama rumah sakit, membalas sapaan para suster dan dokter yang menyapanya terlebih dahulu. Bahkan bau obat-obatan yang kerap membuatnya mual, sudah menjadi parfum baginya karena sudah terbiasa.

"Biru...." panggil perempuan itu hampir berteriak setelah menekan icon berwarna hijau tanda menerima sambungan video call yang lelaki itu berikan.

Menyadari suaranya yang cukup keras, perempuan itu langsung menutup mulutnya dan menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada yang terganggu akan teriaknya tadi. Langsung saja ia mendorong pintu ruangan yang sudah di khususkan kepadanya, bahkan belum ada satu bulan ia sudah mendapatkan perlakuan khusus. Karena jelas ia yang menyandang sebagai tunangan dari keluarga pemilik Rumah Sakit itu, kalau tidak? Jangankan ruangan, masuk rumah sakit Kencana saja rasanya tidak mungkin.

"Kenapa Embun Katya Jaya?" tanya lelaki itu menyebutkan nama lengkap perempuan yang sepertinya tengah bergembira.

Embun mendudukkan bokongnya di atas kursi empuk yang sudah diberikan kepadanya, meletakan buku besar yang berisi ilmu kedokteran agar menyangga handphonenya.

"Sebel banget gue hari ini tahu!" Bahkan baru saja pagi sudah ada yang membuat mood perempuan itu tidak berselera lagi. Biru mengerutkan keningnya, bingung dengan ekspresi yang Embun tunjukkan. Bukan muka kesal yang embun tunjukkan, malah ia menunjukkan muka bahagia.

BERTAUT RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang