Celana jins putih sudah melekat di kaki jenjangnya dan sweater rajut coklat tua melekat pas ditubuh mungilnya, rambut coklat tuanya sengaja ia gerai. Matanya menatap perempuan yang kini menyambut kedatangannya, ia langsung bergegas masuk kala melihat perempuan itu akan beranjak dari duduknya.
Bibirnya melengkung sempurna karena kedatangan perempuan yang sedari tadi ia tunggu.
"Di antar Salju?" tanyanya dengan tangan memegang kedua lengan perempuan yang baru datang itu dan segera mendudukkannya di sofa.
Perempuan itu menggeleng, "Embun naik taksi, ka."
"Kakak ganggu waktu kamu, ya?" tanyanya khawatir apabila mengganggu waktu perempuan itu yang emang pada dasarnya sudah sibuk dengan pekerjaan barunya.
"Embun ambil shift malam, ka. Nanti berangkatnya jam lima," balas Embun dengan senyumannya sehingga menampilkan gigi gingsulnya.
Ada rasa syukur dan tidak bersyukur yang Embun rasakan kepada wanita yang sekarang ada di hadapannya, pasalnya ia yang menyuruh Gema untuk memperkerjakan Embun. Padahal Embun juga tidak merasa keberatan jika lelaki itu menolaknya.
Mata perempuan itu memandang sekitar penjuru rumah yang sangat terlihat sepi, "Brian kemana? Tumben gak kedengaran suaranya?" tanya perempuan itu mencari sosok anak kecil berumur empat tahun.
"Tadi di ajak jalan sama kakek nenek nya," jawabnya yang langsung di angguki oleh Embun yang berada di hadapannya.
Perempuan itu menatap foto besar yang terpajang di dinding tembok bercat putih, ada potret keluarga besar disana. Termasuk anak kecil berumur empat tahun itu ada didalam potret tersebut, sepertinya potret tersebut diambil saat umur anak kecil itu sekitar dua tahun lebih. Wajah Brian terlihat sangat menggemaskan saat baby.
Embun meraih gelas yang berisi air putih yang baru saja diantar oleh salah satu asisten rumah tangga, kemudian menenggaknya sampai tandas lalu meletakkannya kembali di atas meja kaca.
"Embun." Panggil wanita itu lirih yang sekarang sudah menyenderkan tubuhnya.
"Iya, ka Berlin?"
Wanita bernama Berlin itu menutup kedua matanya sebentar, kemudian kelopak mata itu kembali terbuka. Menatap wajah Embun lurus penuh serius.
"Mengenai tunangan Gema," ia memulai pembicaraan yang sebenarnya sudah lama ingin Embun tahu, namun ia segan untuk bertanya mengenai perempuan yang menghilang itu. Bahkan sebelum Embun bersesi pandang atau saling mengenal.
Wajah Embun sedikit memucat kala mendengar perempuan masa lalu dari tunangannya kini mulai dipertanyakan dan dijelaskan, harusnya ia bertanya dulu sebelum memutuskan untuk bertunangan. Embun bahkan sama sekali tidak kepikiran kalau ada perempuan yang sudah mengisi benak Gema, bahkan keduanya sudah bertunangan.
Kedua lengan hangat milik perempuan itu bergerak untuk mengelus punggung dingin tangan Embun, "Kakak ingin kamu tahu, agar masalah itu tidak jadi bumerang di hubungkan kalian berdua,"
Embun siap mendengarkan, walaupun itu tidak ia dengar dari lelaki yang sekarang sudah menjadi tunangannya. Tidak jadi masalah kalau ia mendengarnya dari calon kakak iparnya.
"Kamu pasti tahu kalau Gema sebelumnya sudah bertunangan bukan?" tanyanya yang langsung diangguki Embun, "Keluarga kami tidak setuju dengan pilihan Gema, bukan karena perempuan nya, tetapi karena keluarga dari perempuan itu,"
"Kenapa, ka?" tanya Embun penasaran tidak ingin mendengar jeda yang terlalu lama.
"Ayah tunangan Gema seorang Rentenir." tambahnya, yang membuat Perempuan itu sedikit syok.
"Emang masalah ya, ka?" tanya Embun merasa tidak percaya dengan alasan ketidak sukaan keluarga Gema terhadap keluarga tunangannya.
Perempuan yang bahkan berasal dari keluarga berada walaupun itu tidak halal, di tambah dengan paling utama adalah pilihan hati dari Gema sendiri saja ditolak oleh keluarga Gema.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERTAUT RASA
RomanceEmbun yang mengikuti alur hidup seperti air, Gema si lelaki seperti red Velvet yang mempunya sifat aneka rasa. Seperti red Velvet, perpaduan berbagai rasa yang unik. Dan Biru, lelaki melow namun Embun sayang. Ketiganya seperti perpaduan red Velvet y...