".... Mama harap, Kei bisa jadi yang terakhir ya, Le. Dan jujur, Mama lihat emang ada yang spesial sama anak itu, terlepas dia ganteng karena blasteran, ya. Mau nyari yang ganteng mah banyak." Hana mengibas tangan di depan Leah. "Kei, tuh... yang Mama lihat, baik, polos, terus lemah lembut." Lalu, tersenyum setelah mengatakan ini.
Leah juga tersenyum. Respons awal sang bunda setelah mengatakan dirinya dan Kei ada niat besar untuk menikah, sangat positif ternyata.
"Beda dengan pacar kamu yang dulu-dulu. Mereka masih mainstream. Di zaman sekarang, cari laki-laki baik itu susaaah sekali, Le. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami." Wajah Hana kian serius.
Leah mengangguk setuju, lalu berpikir sebentar sebelum mengatakan, "Tapi... Leah juga berharap Mama gak terlalu banyak berekspektasi. Karena Kei itu... mungkin di mata orang-orang pada umumnya, Kei itu agak beda, Ma," ungkapnya pelan.
Hana tersenyum maklum. Kemudian, menangkup tangan Leah, mengelusinya dengan tangan yang lain. "Le... menurut Mama, gak masalah kalau kita, wanita, bersabar buat mengajari banyak hal ke laki-laki polos seperti Kei. Lagi pula, Kei penurut, kan? Setidaknya... punya sifat-sifat kayak begitu, kemungkinan kecil untuk dia menyakiti kamu. Jangankan nyakitin kamu, dia lagi cemburu aja, dia gak ngerti, kan?"
Leah tersenyum sambil menunduk. Ia memang habis bercerita banyak tentang Kei pada sang ibu. Peristiwa hari kemarin—minus ciumannya dengan Kei, turut diceritakan olehnya.
Ya, kita tahu bahwa Leah sangat terbuka, terlebih pada orang-orang terdekat. Maka, peristiwa kemarin pun tak luput dari laporan Leah pada mamanya.
"Kamu tahu sendiri... diselingkuhi, ditipu pasangan, itu sakit. Sakit sekali. Kalau kita dapat pasangan yang baik, bahkan cenderung polos, Mama rasa itu berkah akhir zaman yang Tuhan berikan, harus disyukuri. Karena itu tadi... lebih baik kita bersabar untuk mengajari lebih, dibanding harus menahan sakit yang bertubi-tubi," papar Hana lagi.
"That's beautiful, Ma." Leah merespons.
"Apanya?"
"The way you think."
"Artinya?" Hana terkekeh sebab tidak jago bahasa Inggris.
"Cara berpikir Mama, indah." Leah tersenyum.
Sang Mama tersenyum lembut. Beringsut mendekat, menahan tengkuk Leah, lalu mengecup dahi sang anak. Sedikit informasi, kecup dahi adalah bahasa cinta di keluarga Leah.
"Oh ya, tapi inget," ujar Hana lagi usai mengecup Leah.
Gadis cantik itu langsung memasang mata dan telinga.
"Kalau udah gak disakitin, udah disayang, dan selalu dimengerti, jangan malah kamu yang nyakitin Kei. Kalau kita kepengin punya pasangan malaikat, kita harus jadi malaikat juga—"
"Jangan dianya malaikat, kitanya setan," cetus Leah cepat.
"Betul sekali."
Kemudian, keduanya tertawa bersama di ruang keluarga, duduk di sofa bulu super empuk berwarna merah muda.
Leah melirik Augustian di pojok ruangan, sedang duduk tenang sambil menonton berita malam. Ingatan lawas melintas tiba-tiba, tentang papanya yang pernah bermain belakang 14 tahun silam.
Hana yang barangkali terlalu mencintai Agustian, memilih memaafkan dan menerima Agustian kembali—walau kepingan hati sempat hancur ditebas tajamnya pengkhianatan.
Ingatan yang tak pernah ingin Leah ingat. Kendati Agustian sudah berubah, tak pernah mengulangi kesalahan, tetapi kejadian itu tetap ada. Berbekas timbul di hati Leah sebagai anak yang tersakiti juga hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEAH and HER PETERPAN ✔️
RomanceKei, cowok blasteran yang ekstra manja disuruh menikah oleh ayahnya supaya tidak lagi manja. Kei yang submisif pun nurut-nurut saja, tapi harus menikah dengan siapa? Kemudian, Leah si cewek ambisius, feminin, dan sedikit galak itu tiba-tiba bertemu...