27 | It's Wonderful!

2.7K 274 155
                                    

WARNING✋🏻: Jika merasa belum cukup umur, atau merasa tidak nyaman, geli, tidak suka, dan semacamnya, silakan diskip saja. Tapi, harap vote dulu sebelum close/skip 🤣👍🏻

Goodluck!

.
.
.
.
.

[Sebelumnya] Dia menelan ludah, lalu menatap ke arah yang bukan diriku. Apa dia takut?

Aku terus menatapnya dengan penantian yang sabar.

Dia mulai menatapku lagi dengan kehati-hatian, seolah aku akan memarahinya. "Kei... Kei malu," ucapnya sungguh pelan.

Aku menelaahnya sebentar, memperhatikan rautnya yang tampak tak cerah. Aku mana tega? Aku pun turun dari pinggangnya, lantas berpindah ke pelukannya. "Malu kenapa, Kei-nya? Gak usah malu, ya? Kan, Kak Leah cinta sama Kei," bujukku lembut.

Dia tak menjawab. Aku pun kembali diam.

Namun, tiba-tiba... ada setitik air hangat yang jatuh di dahiku. Aku mendongak, lantas menemukan air hangat itu berasal dari ujung matanya.

Aku menjauhkan wajah, mengangkat kepala, menahan tubuh dengan siku sebelah. "Sayang, kenapa nangis? Jangan nangis, ya... gak apa-apa kalau Kei belum siap, aku gak apa-apa, kok. Gak usah nangis, ya?" Aku menghapusi air matanya.

Tapi di detik berikutnya, gerombolan air mata kembali menggenangi irisnya, membuat bagian putihnya jadi memerah. "Bukan itu, Kak...," ucapnya.

Aku kembali memeluk agar menenangkannya. "Terus karena apa, hm?" tanyaku lagi.

Dia menarik cairan hidung yang mulai menyumbat. Terasa dadanya naik-turun menahan tangisan.

Aku menunggu saja, hingga ia bersuara, "Kak Leah... badannya bersih. Kalau Kei... banyak bekas lukanya, pasti Kak Leah gak suka liatnya," jawabnya bergetar, sedikit tersendat.

Aku mengerjap-ngerjap. Dengan cepat, mataku mulai terasa panas. Ya Tuhan... apa lamunannya tadi karena memikirkan hal ini? Dia takut aku tidak menyukai tubuhnya yang tak mulus lagi?

"Kei... udah pernah diajarin Daddy. Carlos juga pernah ajarin... Kei udah ngerti sedikit." Dia terisak. "Tapi, lampunya dimatikan aja ya, Kak...."

Aku melepas pelukan dengan perlahan, lantas bangkit untuk mengambilkan air kemasan yang tersedia di atas nakas. Kutusukkan sedotan, lalu kuberikan air itu untuknya. "Minum dulu, ya," ujarku lembut.

Ia bangkit dari pembaringan. Mengambil air gelas ini, lalu meminumnya sambil duduk bersila di atas ranjang. Kulihat air matanya masih di sana. Aku tidak tega.

"Kei."

Dia melepas sedotan dari mulut, beralih menatapku dengan wajahnya yang sendu.

"Memangnya luka kamu masih sakit? Udah enggak, kan?" tanyaku ringan dengan senyuman.

Dia agak menunduk. "Udah sembuh lama, Kak Leah," jawabnya pelan.

"Oh, udah sembuh...." Aku kian mendekat, hingga menempel padanya. Kuelus pahanya pelan. "Berarti, udah gak ada masalah, dong? Kan, udah sembuh." Aku tersenyum penuh dukungan.

Dia masih belum menatap. Wajah gundahnya memandangi ujung ranjang.

Ini sangat sepele sejujurnya. Bekas luka itu biasa. Apalagi, dia pernah kecelakaan parah. Aku akan menjadi drama queen termenye-menye jika menuntut tubuhnya harus mulus tanpa bekas luka.

Namun, aku coba memahami sudut pandangnya. Aku tidak tahu apa kecelakaan itu kerap menghantuinya atau tidak. Atau... setidaknya, mendampaki kepercayaan dirinya atau tidak. Aku tak pernah bertanya dan dia tak pernah membicarakan.

LEAH and HER PETERPAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang