30 | Morning Things

2.8K 283 113
                                    

Vote dulu, please... cuma satu detik aja kamu bikin seneng aku yang ngetik cerita ini berhari-hari😇🙏🏻💜

.
.
.
.

Di ujung pandangan, aspal hitam pekat terlihat berair basah. Fatamorgana karena terik mentari menyiram permukaannya. Di atas aspal hitam, sekerumun orang bersuara dengan nada kepanikan. Leah tidak tahu ada apa. Banyak kendaraan lalu lalang.

"Kei?" Ia memanggil, lalu berjalan sedikit cepat. Namun, tak menemukan suaminya di sekitar.

"Kei!" Nadanya menaik, sebab perasaan mulai panik. Melihat orang-orang yang bersuara berisik, Leah kian kacau dan terhimpit.

Di mana suaminya? Leah tak dapat menemukan. Apa di tengah kerumunan? Namun, Leah takut pergi ke sana.

"Daddy ingin Kei menikah, supaya dia bisa dewasa. Leah, kalau cuma memanfaatkan dia, lebih baik tinggalkan saja dia," ujar Robert yang tahu-tahu muncul di sebelahnya.

Tiba-tiba, bunyi klakson panjang sebuah bus asing terdengar. Nyaring, panjang, begitu keras. "Suami kamu sudah pergi... Zadkiel tidak bisa ditangani," bisik seseorang, bersamaan dengan klakson yang masih berbunyi panjang belum berakhir.

Seketika, jantung Leah berdebar sangat keras, hingga dadanya sakit bagai diperas. Ketakutan besar menyengat seluruh badan. Ia menjerit kencang, menangis kuat, lantas matanya terbuka, menatap langit-langit kamar. Tangisnya lirih terdengar, padahal tadi histeris bukan kepalang.

"Leah? Kenapa, Sayang?" Sebuah rengkuhan datang. Suara lembut nan perhatian juga datang.

Tak hitung dua, Leah balas memeluk erat si pria, suaminya. Setengah meremas dan mencengkram, lalu melanjutkan tangis sedih nan ketakutan. Tak mau tubuh itu menjauh sesenti pun darinya. Bahkan, perutnya yang sudah lumayan besar dan sedang tertekan pada perut suaminya, tak lagi terasa.

"Kenapa? Leah mimpi lagi?" tanya suaminya lembut, tetapi cemas.

Ada lega yang besar, namun justru Leah kian menangisinya. Bayang-bayang mimpi mencekam masih terlalu segar, seolah masih di depan mata. Tapi senang karena tidak nyata.

"Awas ini perutnya kejepit, Sayang," ujar Kei lembut, sedikit memundurkan tubuh, memberi ruang untuk anaknya yang sudah tergencet sebab sang ibu terlalu merengkuh.

"Kei... aku takut...," isak Leah di pelukan Kei. Matanya masih perih karena kantuk, tetapi ketakutan lebih besar dibanding keinginan untuk kembali mencari tidur.

"It's okay, Sayang... it was just a dream. It's fine, Kei's here," ujar Kei lagi, masih memeluk sang istri dengan segala cinta yang dimiliki.

Air mata Leah masih mengalir. Ia mencoba menetralisir, walau masih sulit.

Kei tak lagi menanyakan mimpi apa istrinya pagi ini. Sudah terlalu sering. Kei tidak mau membuat Leah harus mengulangi ketakutan ketika menceritakan kembali si mimpi.

Kandungan Leah sudah menginjak bulan ketujuh. Sejak bulan kelima, Leah sering mendapatkan mimpi buruk dengan adegan-adegan berbeda, tetapi selalu berujung sendu.

Akhir mimpi Leah selalu kehilangan Kei. Entah memimpikan suaminya itu meninggalkan begitu saja, memarahi dulu baru meninggalkan, menceraikan, hilang tak dapat ditemukan, atau meninggal karena kecelakaan. Yang jelas, semuanya tentang perpisahan dan membuat Leah selalu menangis saat terjaga.

Pukul setengah enam pagi, Kei terbangun kaget karena tangisan Leah. Kini, ia masih memeluk sambil menyapu-nyapu punggung kekasihnya.

"Kalau Leah mimpi Kei pergi lagi, jangan dipercaya, ya. Mimpinya itu bohong semua," bisik Kei lemah lembut, lalu mengecup sayang dahi Leah.

LEAH and HER PETERPAN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang