Tujuh

3.2K 325 57
                                    

Aku enggak mau kenal wanita karena takut seperti ibu. Namun, kesan pertama sama kamu memang beda. Rapuh, tapi seperti kuat, walaupun pura-pura.
Irsya Dewangga
🍁🍁🍁

Umur sebelas tahun, Rasi atau kerap disapa Raras tengah meredamkan dingin di emperan toko dengan menggosokkan dua telapak tangannya berkali-kali. Perjalanan menuju panti asuhan masih cukup jauh. Namun, hujan memaksanya berhenti. Kantong kresek hitam berisi sayuran untuk makan malam ia pegang erat-erat. Kala petir menyambar, Rasi ikut memekik ketakutan. Ia memang sendirian di sini.

Semua hal kelam menyeretnya untuk duduk dan memeluk lutut. Otak kecilnya mulai menayangkan adegan laknat di mana sang ibu yang pergi menggelepar karena kekerasan sang ayah. Lantas, lelaki itu murka dan memukuli Rasi sebagai pelampiasan.

Rasi diamankan oleh tetangga sebelum nyawanya berhasil melayang. Keesokannya, sang ayah ikut pergi dengan cara gantung diri. Rasi sah hidup sebatang kara. Dimasukkan ke panti asuhan dan mulai merasa menikmati bermain dengan teman-teman sebaya, tetapi rindu pada orang tua hadir begitu saja.

Malam sudah di ambang batas. Sore mulai habis. Masih dengan rintik gerimis, Rasi bangkit menekan rasa takut yang sempat menggelayut lantas menerobos jalanan basah. Bunyi kecipak air menggema seiring langkahnya yang cepat. Tak mau membuat Mbak Robi menunggu, itu alasan utama.

Tiba di gerbang panti, Rasi tiba-tiba ditarik paksa oleh seseorang. Mulutnya dibekap. Ia diseret cepat menuju gudang yang letaknya sepi.

Mata sipit Rasi membulat ketakutan kala dihadapkan sesosok pria dewasa. Bang Joni, pengurus panti lelaki yang menurut Rasi baik hati. Entah kenapa tak ada raut yang sempat Rasi kira, berbeda dengan almarhum ayahnya. Joni tak sama dan menatapnya dengan tatapan tanpa kebaikan.

“Kamu udah mens, Dek?” tanya Joni menggema.

Nada suaranya rendah. Rasi mengepalkan tangan di samping badan. Gejala pubertas mulai menghampiri, tetapi untuk apa Rasi menceritakan pada Joni?

“Gak jawab?” Joni bertanya sembari menghapus jarak.

Rasi sontak mundur, tetapi badannya yang mulai membentuk lekuk tubuh ditahan Joni. Joni mulai kurang ajar, tangannya hendak menyentuh bagian privat Rasi. Sebuah teriakan menggema disusul lelaki remaja yang datang.

“Goblok lo, Bang!” Laki-laki penuh tatap mencekam tersebut berkata.

Adu mulut, adu jotos, dan adu otak pernah dilakukan. Tak ada satupun yang kalah. Remaja tanggung itu selalu menang. Akan tetapi, rasa amarah terus menyelimuti hati. Tak ada kepuasan yang didapat sejak memilih hidup sendiri. Ia memang dititipkan di sini karena orang tuanya berpisah. Kepalanya yang harusnya bersih dari hal-hal dewasa justru tercemari.

Ibunya, wanita kepercayaannya. Wanita yang harusnya jadi cinta pertama, malah membawa lelaki berbeda untuk main di rumahnya. Sang ayah yang merupakan abdi negara, jarang pulang dan bom waktu akhirnya membombardir istana kecil mereka.

“Aku kerja! Kamu malah main sama lelaki lain? Wanita macam apa kamu, ha?!”

Tak ada kedap suara. Teriakan bak petir tersebut menggema. Telinga bocah lelaki itu pun pedih mendengarnya. Ia mengerti, karena dipaksa mengerti. Umurnya masih terlalu kecil, tetapi dicekoki masalah dewasa dan menumbuhkan luka di hatinya.

“Aku butuh kepuasan! Kenapa? Kamu enggak suka! Oke cerai aja!”

Semudah itu. Perceraian datang membuat hati putihnya diserang trauma serta ketakutan. Sudah dapat disimpulkan, bocah lelaki tersebut memandang tak minat pada teman perempuan. Semua temannya lelaki. Jika ada perempuan, ia menghindari. Ayahnya kadung menanamkan alasan perpisahan mereka karena ibunya melakukan perselingkuhan.

Madu Perkawinan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang