S.M~4

230 28 8
                                    

Karena merasa hari itu begitu melelahkan, sepulangnya dari sekolah sebenarnya Ardan berniat untuk mengurung dirinya di kamar main game sampai sebelum waktunya makan malam tiba.

Tapi sayangnya, saat dia baru menginjakkan kakinya di dalam rumah, Ardan malah sudah langsung di sambut dengan wajah sumringah ayahnya.

Yang jelas-jelas itu adalah pemandangan yang sangat mengejutkan bagi Ardan. Karena tak biasanya ayahnya yang selalu pulang di saat petang itu malah sudah ada di rumah di jam segini.

Memang bukan jarak waktu yang signifikan. Tapi tetap saja itu hal yang sangat tak lumrah bagi ayah Ardan yang berprofesi sebagai kuli bangunan.

"Kok ayah sudah pulang?"

Bukannya langsung menjawab pertanyaan dari putra semata wayangnya, masih dengan senyuman simpulnya, sang ayah malah menghampiri Ardan sambil berkata.

"Kamu cepetan mandi gih, ganti baju yang rapi, terus ikut ayah ya?"

"Hah? Kemana yah?"

"Ke rumah saudara kita yang di kota." Ayahnya Ardan menjawab sambil mendorong secara perlahan tubuh Ardan ke arah kamarnya.

"Ngapain yah?"

"Ada acara kumpul keluarga. Dan kita di undang kesana. Makanya kamu cepetan mandi. Ayah tunggu di depan ya."

Sebenarnya sih karena pertengkarannya dengan Taavi tadi pagi yang membuatnya terus-terusan bad mood, sore itu Ardan sangat malas untuk keluar rumah.

Tapi saat dia teringat pada wajah bahagia ayahnya, Ardan memilih untuk mengesampingkan perasaannya. Dan bergegas mandi.

Toh sejak kematian papanya enam tahun yang lalu, ayahnya memang hanya mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan Ardan seorang diri.

Ardan sendiri tidak mengerti. Entah karena ayahnya terlalu mencintai mendiang suaminya dan tidak bisa move on darinya, atau karena beliau minder dengan kondisi keuangannya yang cuma seorang kuli bangunan dengan penghasilan pas-pasan.

Yang jelas ayahnya selalu menolak untuk menjalin hubungan dengan partner yang baru. Meski tak sedikit juga yang kedapatan mengagumi ketampanan ayah Ardan yang tak pudar meski telah termakan waktu dan profesi.

Jadi tak ada salahnya juga bagi Ardan yang selama ini sudah dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh ayahnya, jika kali ini saja dia mengorbankan waktunya untuk menuruti ajakannya yang jarang terjadi.

Akhirnya setelah kurang lebih dua puluh menitan bersiap-siap, Ardan dan ayahnya bergegas pergi ke rumah saudaranya yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari rumahnya.

Untungnya karena kondisi lalu lintas di daerah Ardan tidak sepadat di ibu kota, setengah jam kemudian dia dan ayahnya sudah sampai di tempat tujuan.

Dengan langkah yang sangat berat, Ardan mengekori ayahnya memberikan salam pada saudara-saudara jauhnya yang sangat jarang dia temui.

Tak jarang juga dari sekian banyaknya orang dewasa yang berkumpul di tempat itu, mereka menanyakan hal-hal yang membuat Ardan jadi pusing.

Seperti. "Nak Ardan sudah besar ya? Semakin tampan lagi. Masih ingat sama tante tidak?"

Atau. "Duh, sekarang Ardan sombong ya. Kamu sudah tidak mau main ke rumah kami lagi. Padahal dulu saat masih kecil, kamu sering nginep di rumah kami lhooo."

Oh Tuhan. Bagaimana Ardan bisa dibilang sombong? Kalau hanya untuk sekedar mengingat wajah atau bahkan namanya saja Ardan tidak bisa.

Mungkin diantara seratus orang yang hadir di tempat itu, hanya sepuluh sampai dua puluh orang saja, termasuk dirinya sendiri dan ayahnya, yang benar-benar Ardan kenal.

Sweet Mischief (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang