S.M~8

155 18 1
                                    

Setelah naik ke atas motor, Ardan merasa sangat canggung saat dia tidak tahu harus meletakkan tangannya dimana. Jika ingin memegang bahu kokoh di depannya, dia merasa tidak pantas karena mereka belum cukup akrab.

Apalagi jika ingin melingkarkan tangannya di sisi pinggang yang kelihatannya cukup tebal jika dibandingkan dengan miliknya itu, Ardan merasa kalau hal itu akan terasa jauh lebih tidak masuk akal lagi.

Jadi setelah perang batin yang cukup menguras pikiran, Ardan memutuskan untuk menggenggam erat erat sisi jok belakang motor yang sedang melaju kencang ke arah rumahnya itu, meski sebenarnya itu terasa tidak nyaman baginya.

"Gapapa Ardan. Ini jauh lebih baik daripada elu jatoh kalo enggak megang apapun." Ardan mencoba untuk mencari ketenangan dengan menasehati dirinya sendiri dalam hati.

Tepat ketika Ardan mulai merasa rileks dengan posisinya, tiba-tiba motor yang sedang memboncengnya sedikit oleng karena tak sengaja menabrak bongkahan batu bata di tengah jalan. Sepertinya sih benda itu muncul dari bangunan runtuh di sisi jalan yang sudah terbengkalai.

Karena tubuhnya terpental, mau tak mau Ardan reflek mencengkeram pinggang di depannya yang menjadi satu-satunya tumpuan untuk menjaga keseimbangannya ketika gravitasi bumi menariknya kembali ke posisinya.

"Maaf..." Ardan bercicit lirih sambil menarik tangannya kembali untuk berpegangan pada sisi jok.

Tapi gerakannya harus terhenti saat tangan besar lainnya yang sedikit dingin karena tertabrak kencangnya angin malam, menarik kembali tangannya agar tetap melingkari pinggangnya.

"Gapapa. Tetep gini aja biar elu gak jatuh." Pria di depannya bergegas melepaskan tangannya saat Ardan sudah sepenuhnya memeluk pinggangnya.

"Ya." Karena terlalu malu, Ardan menjawabnya dengan suara yang sangat lirih yang lebih kecil daripada bisikan.

Dia sudah tak perduli lagi meski orang yang sedang berbicara dengannya itu bisa mendengar suaranya atau tidak.

Karena yang terpenting bagi Ardan saat ini adalah, dia harus segera mengatasi degup jantungnya yang terdengar begitu keras di dalam telinganya.

Ardan hanya berharap semoga helm yang membungkus kepala Taavi dengan ketat itu bisa menulikan pendengarannya. Jadi dia tidak akan bisa mendengar suara debaran jantungnya yang menggila.

Yah, jadi orang yang memanggil namanya di pos satpam pabrik air mineral tadi, dan yang sedang mengantarkan Ardan pulang saat ini adalah Taavi.

.

.

.

.

.

FLASHBACK ON

.

.

.

"Iya. Terima kasih." Ardan berjalan ke arah bangku yang di tunjuk oleh satpam itu dengan perasaan yang sangat senang.

"Akhirnya gue bisa pulang." Bisiknya dalam hati sambil melewati satpam yang masih memperhatikan motornya dengan seksama.

"Ardan?"

Namun sebelum Ardan sempat menempelkan pantatnya pada bangku datar itu, dia mendengar suara dalam yang cukup familiar di telinganya sedang memanggil namanya.

"Taavi?!"

Ardan berbalik ke arah sumber suara hanya untuk dikejutkan oleh kehadiran Taavi yang entah darimana datangnya.

Sweet Mischief (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang