Dengan nafas terengah-engah, Ardan membungkuk sambil memegang kedua lututnya di depan pintu rumah Taavi.
Dia memang pergi ke rumah Taavi tidak dengan cara berlari, tapi kepanikan yang melandanya membuat Ardan jadi susah bernafas.
Apalagi setelah dia memeriksa waktu di layar Hpnya dan langsung menyadari kalau dirinya telah terlambat hampir sepuluh menit dari waktu yang diceritakan oleh Shoan.
Brak... Brak... Brak...
"Taavi!!! Bukain pintunya!!! Ini gue, Ardan!!!"
Ardan menjadi semakin panik dan mulai memanggil manggil nama Taavi sambil menggedor pintu itu dengan membabi buta.
Namun meski tangannya mulai memerah dan sakit, tak ada sedikitpun tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah Taavi yang jelas-jelas sudah gelap gulita.
Sepertinya Taavi memang sudah pergi dari sana.
"Aaarrgghhh...!!!" Tubuh Ardan yang bersandar kuat pada pintu seketika merosot.
Lelehan air mata juga mengalir deras melewati pipinya yang semakin tirus seiring bertambahnya usia.
Ardan meraung raung memanggil nama Taavi sambil membenturkan dahi serta kepalan tangannya pada pintu.
"Taaviii... Jangan tinggalin gue... Hiks..."
Duk... Duk... Duk... Duk...
"Taaviiii... Gue gak bisa hidup tanpa elu... Maafin gue.... Aaarrgghhh...!!!"
Dia mengakhiri kalimatnya dengan mengerang keras karena mendadak kepalanya terasa sangat pusing.
Ardan berusaha berdiri dari posisinya yang masih terduduk di lantai dengan berpegangan pada gagang pintu.
Namun rasa sakit di kepalanya membuatnya susah bergerak. Bahkan pandangannya menjadi gelap seketika sebelum Ardan berhasil menyempurnakan posisinya.
Bruk...
Tubuhnya langsung ambruk terjatuh menghantam lantai ketika rasa sakit di kepalanya tak dapat lagi Ardan tahan.
.
.
.
.
.
"Aarrgghhh...!!!" Keesokan paginya, Ardan terbangun di teras rumah Taavi dengan kondisi kepala yang masih berdenyut-denyut.
Dia bangun dari posisinya dengan raut muka meringis merasakan sakit sambil memperhatikan pemandangan yang tak asing di depannya.
Begitu Ardan menyadari lokasinya, dia otomatis menangis karena teringat pada kenyataan yang membuatnya tak mungkin lagi bisa menggapai Taavi.
Ardan menangis bagai bayi kelaparan. Dia tak perduli meski dirinya terlihat seperti orang gila di depan rumah Taavi.
Saat ini Ardan hanya ingin mengeluarkan semua air matanya yang sekian lama selalu dia tahan.
"Ardan?"
Sepertinya Ardan benar-benar gila. Lihatlah, di tengah tangisannya dia malah berhalusinasi seperti mendengar suara Taavi dari belakang tubuhnya.
"Ardan? Ngapain elu disini?"
"Hah!" Ardan benar-benar jengkel. Dia benci membayangkan suara bariton Taavi memanggil namanya seperti itu. Ardan sungguh merindukannya.
Dia mempertanyakan kerja otaknya yang tidak bisa menghilangkan suara itu dari pikirannya. Apakah ini pertanda kalau Ardan memang sudah mulai gila karena terlalu mencintai Taavi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Mischief (End)
FanfictionCHAPTER KETIGA DAN KEEMPAT TERTUKAR YA 😭 DAN JANGAN LUPA TINGGALKAN VOTING 😚 "Hidup itu cuma sekali, tak ada salahnya kan, jika sekali saja dalam hidup ini gue mencoba untuk bermain-main?"-Ardan "Mungkin itu memang benar. Tapi kenapa harus hati ya...