won't war

4.6K 160 10
                                    

surya masih malas bangkit dari tahtanya. belum ada tanda tanda hari akan segera benderang dalam hitungan ke tiga. Rahman menerawang ke arah luar sana. entah kenapa indah saja baginya melihat pemandangan seperti ini. terlebih lagi jika Riana bisa memeluknya dari belakang. ia merindukan kehangatan itu. pria tampan itu hanya mengenakan celana piyama dan kaos putih saja. padahal sejak shalat subuh tadi, dia punya kesempatan untuk memakai baju koko atau apalah, yang terlihat lebih rapi, namun sepertinya pria itu lebih nyaman begitu. lagipula, mengenakan apa saja, ketampanan dan postur tubuhnya yang begitu terjaga baik tetap saja tampak. ia tetap tampan dari segi manapun.

rahman duduk di sofa dekat jendela yang mengarah langsung ke swimming pool rumahnya dan Riana. sesangkan wanita dengan rambut hitam yang berantakan itu masih tidur dengan tenang di atas ranjang disana. ia menggeliat kecil dalam selimutnya yang menutupi tubuhnya sampai leher itu. seperti kedinginan, atau lebih mirip ulat bulu. Suaminya itu menatapi saja dari duduknya. tak mau mengganggu, karena ia tahu istrinya itu lelah dengan apa yang ia alami sekarang. baby blues itu pastinya melelahkan fisik dan batin. beruntung sekarang Riana sudah mau tidur. Rahman menatap lagi, mengingat kembali perkataan dokter Lita tentang baby blues.

"yang paling penting yang harus kamu lakukan adalah dampingi dia, man. itu saja. ituakan membantunya keluar secepat mungkin dari baby blues"

rahman terkekeh kecil mengingat perkataan Dokter Lita. baby blues memang bukan sesuatu yang semenakutkan kanker stadium 4, namun yang paling ia sadari adalah,

selama ini, apa benar dia terlalu sibuk?

apa memang jarang ada Rahman yang seperti dulu? yang selalu menciumnya sebelum ke rumah sakit? padahal mereka bekerja di rumah sakit yang sama. memang sepele, namun Rahman baru sadar itulah akar dari hubungan mereka.

"Man..." rengekan kecil keluar dari bibir wanita itu,

membuat rahman tersadar dari lamunannya. ia beranjak dari kursi lalu mendekati istrinya itu. mengelus rambutnya pelan, lalu mengecup dahinya dengan penuh rasa sayang. seprai berwarna merah maroon itu entah kenapa membuat suasana pagi itu semakin romantis dan menghantarkan penyesalan Rahman secara langsung pada Riana.

"gutten morgen, sugar" suara rahman begitu terdengar menyejukkan. tangannya masih dengan lihainya mengelus dan memainkan rambut wanitanya itu.

"morgen, doc" ucap riana sedikit pelan, kini ia mulai membuka matanya. seketika cahaya masuk, pupil matanya seakan lari dari dirinya. mata hazel choco nya itu membuat Rahman meleleh seketika.

ia hanya bisa menatapi rahman. ya, sekarang ia melihat Maha karya Tuhan itu dari posisiberbaring. dalam hatinya yang labil itu ia bertanya tanya, beginikah cara Allah memberikannya nikmat di pagi hari?

dengan suami yang begitu tampan ditambah senyum penuh penyesalan dan dikalikan ciuman dan elusan lembut? hasilnya adalah jatuh cinta kuadrat.

riana seakan kembali berakal sehat. mungkin, memang harusnya dari kemarin ia sadar bahwa penawar kegelisahannya adalah orang yang telah membuatnya jatuh cinta dulu dan sekarang, Rahman As-Syafiq.

sudah sekitar, hmm, sepertinya 5 menit mereka hanya saling menatap, entah apa yang mereka bicarakan melalui tatapan itu. yang pasti dari tatapan mata rahman tersirat penyesalan yang hanya bisa dibaca lubuk hati Riana. entah siapa yang akan mengakhiri tatapan itu.

mata rahman terbelalak kaget, tapi beberapa detik kemudian ia mengganti ekspresinya dengan begitu bahagia. mungkin para jomblo akan tahu rasa bahagia yang dirasakan Rahman saat sudah memilikipasangan hidup yang halal seperti rahman, karena halal jauh lebih nikmat beratus kali lipat.

bagaimana tidak kaget? tiba-tiba saja riana memeluknya erat. penuh dengan kerinduan yang tak mampu dibahasakan.

Rahman hanya bisa terdiam. menikmati wangi strawberry dari rambut istrinya sambil mengelus punggung wanita itu.

she's my love doctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang