We're in Jeju

465 42 16
                                    

Kira-kira sudah sebulan lebih aku menikah dengan Sehun. Manis pahit kehidupan sudah kulalui bersamanya. Luka operasi Sehun juga sudah sembuh dan dia telah dinyatakan sehat oleh dokter.

Aku masih tidak menyangka jika Se Yoon alias Sehun telah menjadi suamiku. Meski saat kecil kami hanya beberapa kali bertemu, tapi aku tidak pernah melupakan namanya. Mungkin saking lamanya tidak bertemu, aku lupa rupa pria itu. Sehingga saat dia datang ke kehidupanku, aku tidak mengenalinya.

Aku selalu tersenyum saat terbayang bagaimana Sehun menyelamatkan sandalku yang tergulung ombak, hingga pada akhirnya kaki Sehun terkena bulu babi. Aku cukup kasihan dan merasa bersalah kala itu. Namun Sehun bilang tidak apa-apa, dia senang melakukannya. Dari kecil sampai sekarang Sehun tidak berubah, aku selalu tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Tidak bisa tertebak.

Tidak ingin bernostalgia lama-lama, usai memakai parfum aku menarik handle laci untuk mengambil jam tangan. Namun tatapanku berfokus pada amplop berwarna merah pemberian Ibu Sehun yang belum sempat kubaca. Aku mengambilnya dan membukanya.

Untuk Kim Jisoo, menantuku.

Selamat Ulang Tahun menantu Ibu. Semoga kau selalu dalam lindungan Tuhan dan hidup dalam kebahagiaan. Ibu berharap kau selalu sehat, serta di beri umur yang panjang.

Jisoo-ya, terima kasih telah menjadi istri Se Yoon. Kau masih ingat nama panggilan ini bukan? Tentu saja kau masih ingat, karena saat ini Se Yoon ada disisimu.

Kau dan Se Yoon baik-baik saja disana? Ibu sangat ingin kau datang ke Jeju jika ada waktu. Ikutlah dia ketika panen bunga tiba. Ibu yakin kau pasti menyukai suasananya. Ibu juga akan masak yang banyak saat kau berkunjung nanti. Se Yoon bilang kau sangat menyukai seafood, Ibu pasti akan memasakkannya untukmu.

Ibu merindukanmu. Ibu juga menanti kabar bahagia darimu dan juga Se Yoon. Ibu menunggumu di Jeju.

Air mataku menetes ketika membaca pesan dari Ibu Sehun. Ternyata dalam surat ini Ibu memberitahuku siapa Sehun sebenarnya. Namun aku tidak sempat membacanya dan lebih menyimpan suratnya. Aku menyesal tidak membukanya dulu.

Aku sadar selama aku menikah dengan Sehun, aku tidak pernah sekalipun pergi ke Jeju untuk mengunjungi mertuaku. Begitu baiknya mereka mengerti diriku yang sangat tidak berperasaan ini. Aku semakin bersalah dengan Sehun dan juga keluarganya.

Aku mengusap air mataku dan segera menyimpan lagi surat itu ke dalam laci, kemudian keluar kamar. Kulihat Sehun yang sedang menyiapkan sarapan dengan aprone putih yang selalu melekat ditubuhnya.

"Kau sudah selesai? Ayo kita sarapan." Ajak Sehun ketika aku berjalan menghampirinya. Pria itu mencopot aprone-nya dan duduk berhadapan denganku.

"Kau masak banyak sekali? Siapa yang akan menghabiskan ini semua?" Tanyaku melihat lauk yang begitu banyak di meja makan.

"Aku sengaja masak banyak. Jadi saat kau pulang dari kantor nanti kau tinggal memanaskanya saja." Ujar Sehun sembari mengambilkan nasi untukku. "Jadi kau tidak perlu beli makanan dari luar selama aku tidak ada di rumah."

Ya, Sehun berencana akan ke Jeju hari ini. Mengingat dia sudah sembuh total dan sehat. Aku melihatnya dalam diam, kemudian...

"Apa aku boleh ikut?"

Seketika Sehun menghentikan supitnya yang akan mengambilkan kimchi untukku. Dia sempat tertegun sejenak sebelum akhirnya menatapku.

"Ke Jeju. Aku ingin pergi bersamamu kesana." Lanjutku.

Sehun meletakkan sumpitnya dan membuang wajah karena tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Aku tersenyum sembari menarik tangannya.

"Bolehkan?" Aku sedikit memiringkan kepala untuk melihat Sehun yang salah tingkah sambil tersenyum.

Perfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang