Day 10

361 46 25
                                    

Tengah malam atau sekitar jam dini hari aku selalu terbangun. Entah itu mengecek ponsel atau minum. Tapi kali ini bukan keduanya, melainkan penghangat ruanganku rusak. Hawa menjadi dingin sampai menembus selimut. Remote control yang biasanya berfungsi kini tidak lagi karena penghangat ruanganku mati. Aku memakluminya karena aku baru meninggali apartemen ini usai menikah dengan Sehun setelah setahun tidak ku tinggali.

Aku mengambil cardigan rajut dan ponsel, lalu keluar kamar. Setelah itu aku menghubungi Jinhyun, berharap sekretarisku itu mengangkatnya. Tapi nyatanya tidak. 3 panggilanku tidak dijawab olehnya.

"Aishh sial!" Aku bersidekap dada sambil menahan hawa dingin yang menusuk kulitku.

Tak sengaja aku menatap kamar lantai atas yang tidak pernah aku buka. Mungkin disana masih bisa untuk ditiduri, pikirku. Aku segera naik ke lantai 2 dan ternyata pintunya terkunci -_-

Aku menghela napas gusar sambil mengingat-ingat dimana kusimpan kuncinya. Namun aku benar-benar lupa. Aku kemudian turun dan masuk ke kamar lagi mencoba mencari kunci kamar itu di laci bahkan lemari. Tapi tidak kutemukan.

Aku menggigit jari. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi. Masih sangat lama menuju jam kerja. Apa yang harus kulakukan? Satu-satunya tempat adalah kamar Sehun. Tapi... masa iya aku harus sekamar dengannya?

Aku berpikir dan berkecambuk dalam hatiku sendiri. Namun aku sadar, ini adalah apartemenku. Aku bebas tidur dimanapun. Ya benar. Aku meyakinkan diriku sendiri. Kira-kira aku butuh waktu 2 menit untuk keputusan ini.

Tak berlama-lama lagi, aku segera keluar dan membuka pintu kamar Sehun perlahan tanpa mengetuknya. Aku terkejut saat tak melihat Sehun di ranjangnya. Aku membuka pintu lebih lebar lagi dan menemukan Sehun berada di sofa panjang sedang menutup laptopnya.

"Oh Sehun." Panggilku usai memberanikan diri.

Pria itu menatapku. "Jisoo? Wae geurae?"

Aku berusaha menetralkan ekspresiku dan berjalan menuju ranjang lalu duduk bersila disana. Sehun menghampiriku.

"Penghangat ruanganku rusak. Jadi untuk sementara, aku akan tidur disini." Ucapku seenaknya.

Sehun mengangguk paham. "Baiklah, aku akan tidur diluar."

Hanya itu? Dia tidak menyangkal atau melarangku? Kukira dia akan marah. Namun aku berpikir lagi, hawa saat ini sangat dingin. Jika Sehun tidur diluar dan dia sakit, siapa yang repot?

Aku menoleh pada Sehun yang hendak mengambil bantal. "Andwae!" Cegahku cepat dengan memegang tangannya. Tanpa kusadari jarak kami hanya satu jengkal saja karena kecerobohanku yang spontan melarangnya keluar.

"Mwo?" Sehun menatapku bingung.

Aku seketika melepaskan tangannya dan memundurkan badanku. "Maksudku__ kalau kau tidur diluar, kau akan sakit nanti! Jika kau sakit siapa yang repot? Pasti Ayah juga memarahiku!"

Sehun menahan senyumnya dan duduk disampingku. "Jadi aku bisa tidur disini?"

Aku mengalihkan pandanganku sejenak untuk berdehem. Lalu mengambil guling disampingku yang kupindahkan ke tengah. "Jangan sampai kau melewati batas ini. Mengerti?"

"Tanpa ada batas pun, aku tidak akan menyentuhmu." Canda Sehun yang bersiap untuk tidur.

"Ya! Oh Sehun! Jugullae?!" Aku memekik keras karena kesal.

"Sudah malam, jangan teriak-teriak."

Aku berdecak, kemudian tidur memunggunginya.

****

Paginya, aku bangun karena cahaya matahari mulai memasuki celah jendela. Aku mengerjapkan mataku merasakan guling yang kupeluk ini berubah menjadi besar. Begitu nyawaku berkumpul, mataku seketika membulat karena aku tidur dipelukan Oh Sehun. Bahkan tangan pria itu kujadikan bantal. Bukan hanya aku yang memeluknya, tapi dia juga memelukku layaknya guling empuk baginya.

Perfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang