Day 28

394 41 11
                                    

Hari ini suamiku sudah boleh pulang atas ijin Dokter Seo. Aku juga telah mengemasi barang-barang Sehun dan mengurusi administrasi rumah sakit. Hanya tinggal menunggu Jinhyun yang datang menjemput kami.

Tapi anehnya, aku mendadak gugup ketika tahu Sehun diam-diam mengamatiku yang sedang membersihkan nakas. Aku berdehem sebentar untuk meredakan ketegangan sambil melirik sekilas lewat ekor mataku.

"Jisoo." Dan akhirnya Sehun memanggilku.

"Hm?" Aku menoleh, lalu dia menarik kursi yang aku duduki hingga berhadapan dengannya. "Kenapa? Kau tidak apa-apa?" Tanyaku sambil melihat balutan perban dikepalanya.

Sehun yang duduk di tepi ranjang itu memegang kedua bahuku. "Terima kasih."

Aku menunduk, menahan senyum yang menghiasi wajahku, lalu menggenggam tangannya. "Untuk apa kau bicara seperti itu? Ini tidak sebanding apa yang telah kau lakukan untukku."

"Kau adalah istriku. Sudah menjadi kewajibanku untuk melindungi, menjaga, dan membantumu, entah disaat sedih atau bahagia. Aku akan selalu disisimu."

Kami menyunggingkan senyum satu sama lain. Aku tidak tahu rasa bahagia hanya sesederhana ini. Dulu kupikir hidup dengan banyak uang dan bisa melakukan segalanya adalah hal yang membahagiakan dalam hidupku. Tapi sekarang berubah. Aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya ketika bersamanya.

"Setelah ini, aku akan mengikutimu kemana pun kau pergi." Ucapku.

Sehun mendelik menatapku. "Benarkah?"

Aku mengangguk serius. "Hm~"

"Ke Jeju?"

"Okey." Anggukku.

Pria itu sedikit terkejut. "Kau tidak keberatan?"

Aku menggeleng. "Ani."

Sehun berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kita ke kebun bunga?"

Aku mengedikkan bahu. "Tidak masalah."

"Kalau Sungai Han?"

"Itu dekat dari sini."

Sehun menyipitkan matanya dengan menggoda. "Ke kamarku?"

"Tentu saja aku__" Seketika ucapanku terhenti dengan mata yang membulat lebar setelah mencerna semuanya. Kamarnya?

"Ya! Kau menjebakku!" Aku memukul pahanya beberapa kali dengan bibir yang mengerucut.

Sementara pria itu tertawa lepas, kemudian mengusak puncak rambutku. "Aku hanya bercanda."

Mataku menyipit dan mendekatkan wajahku. "Tapi jika kau benar-benar menginginkannya. Aku akan mempertimbangkannya." Kuharap Sehun berbalik gugup dan salah tingkah.

Namun aku salah duga! Pria itu malah mendekatkan dirinya kepadaku hingga aku terpaksa memundurkan badanku. Tangannya berhasil mengunciku dengan memegang kedua sisi kursi yang aku duduki. Sial! Senjata makan tuan!

"Lalu, bagaimana jika kita mulai dari awal?"

Mataku berkedip beberapa kali. Memulai dari awal? Apa maksudnya?

Aku menelan ludah. Mendadak tatapan pria itu berubah sangat intens. Lalu perlahan manik matanya turun. Aku tahu arahnya. Kurasa dia mengincar bibirku. Seketika aku diam mematung dengan rasa gugup yang luar biasa.

Sehun mulai mendekat. Tanganku reflek meremat ujung baju yang aku kenakan. Mataku membulat saat bibir kami satu jengkal lagi akan bersentuhan.

Apakah ini awal yang harus kami lewatkan? Jika benar, aku harus siap dan menerimanya. Mataku hampir menutup. Namun pada akhirnya...

Perfect LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang