8. Lalat Busuk Pengkhianat

506 84 1
                                    

Setelah mendengar aku bisa dijenguk, hampir setiap jam tamu yang datang ke kamarku berganti. Jujur saja, ini melelahkan. Aku tidak tahu orang-orang yang datang ke kamar ini memang peduli pada Liz atau hanya sekedar basa-basi. Kalau memang mereka tulus, Liz benar-benar mendapatkan banyak cinta.

Tapi, itu mengusikku. Mengganggu ketenangan hidupku. Terutama perempuan yang sejak tadi memelukku sambil menangis berlebihan. Jeslyn. Ya Tuhan, di antara teman satu kelas, aku paling malas berhadapan dengan gadis culun ini. Jeslyn memang tidak pernah berbuat salah atau cari gara-gara denganku. Hanya sekali dia tidak sengaja melempar bola volly ke kakiku. Tapi tetap saja aku tidak menyukainya.

Jawabannya sederhana, dia miskin. Di sekolah kami ada sistem kasta tak kasat mata. Orang kaya hanya berteman dengan sesamanya, orang miskin tidak bisa berteman dengan orang kaya. Yang aku tahu, Jeslyn masuk ke SMA kami jalur beasiswa, itu sudah sangat membuktikan status dia. Selama dua tahun satu kelas, aku paling tidak sudi bicara dengan perempuan miskin ini.

Di kelas juga hanya Lizzy yang mau berteman dengan Jeslyn, aku tidak tahu Lizzy memang tidak mengerti sistem kasta yang ada, atau dia hanya ingin terlihat seperti malaikat. Yang pasti, berkat Lizzy, perempuan yang tidak selevel denganku itu sekarang memelukku. Iyuhhh. Habis ini aku harus mandi dari tujuh sumur yang berbeda.

"Kau mau membunuhku?" tanyaku ketus pada Jeslyn. "Aku hampir kehabisan napas," sambungku yang akhirnya membuat Jeslyn melepaskan pelukannya.

"Maaf, Liz. Aku Cuma terlalu khawatir sama kamu," ucapnya sambil berkali-kali menyeka airmata.

Sementara aku sibuk melihat piyamaku yang basah karena airmata Jeslyn. Tolong jelaskan ini airmata atau air liur. Menjijikkan. Aku harus mandi.

"Waktu dengar kamu kecelakaan, aku langsung panik, Liz. Aku...aku...aku takut kamu nggak bangun lagi. Syukurlah kamu udah siuman. Sumpah demi Tuhan, aku takut kehilangan kamu sampai nggak bisa tidur mikirin kamu," lirih Jeslyn dengan airmata yang terus mengalir.

Mungkin kalau ini Liz dia akan memeluk Jeslyn dan menangis berdua. Tapi ini Ivy, si anti drama melankolis.

"Mana yang sakit, Liz?" tanya Jeslyn.

"Udah nggak sakit, udah sembuh," jawabku asal.

"Aku kangen banget sama kamu, Liz." Jeslyn sekali lagi ingin memelukku, tapi aku langsung mendorong dadanya untuk menjauh.

"Udah acara peluk-peluknya, bau ketekmu menyiksa," ucapku tanpa memikirkan dia sakit hati atau tidak.

Benar saja, Jeslyn jadi mencoba mencium aroma ketiaknya sendiri. Dia mengendusnya beberapa kali dan berakhir dengan menciutkan tubuhnya. Dasar polos.

Kenapa juga disetiap kelas ada perempuan modelnya seperti Jeslyn? Rambut selalu dikuncir kuda, memakai kacamata tebal, wajahnya kusam, dan terlihat tidak percaya diri. Yah, aku juga kalau punya penampilan seperti itu pasti tidak percaya diri. Dan kenapa juga Lizzy harus berteman dengan manusia seperti itu? Kan, jadi aku yang repot.

"Lizzy mau makan apa? Aku bawain buah." Jeslyn menunjukkan sekantung plastik buah jeruk. Hanya di balut plastik kresek. Apa dia bercanda? Seorang Ivy hanya mau makan buah import yang di jual di Mall. Bukan jeruk murahan dengan plastik kresek.

"Seblak," sambarku.

"Yah, aku nggak bawa seblak," jawabnya dengan polos.

Aku sampai berdecak. Melihat wajah Jeslyn saja sudah membuatku muak, apalagi harus berlama-lama bicara dengan dia.

"Mending kamu pulang aja deh, kepala aku mumet ngomong sama kamu," ucapku dengan ketus.

Jeslyn terdiam sejenak. Dia memperhatikanku dengan mata yang sedikit sendu. Lalu tiba-tiba punggung tangannya menempel di dahiku.

Secret Change {Proses Penerbitan}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang