9. Menyedihkan

447 77 0
                                    

"Bangun, Tolol!" ucapku sambil menyentuh pipi tubuhku yang berbaring di atas ranjang dan tak kunjung siuman padahal sudah lima hari berlalu sejak kecelakaan itu.

"Enak, ya, jadi kamu. Tinggal tidur dalam badan aku dan nggak ngerasain apa-apa."

"Sementara aku jadi saksi hujatan semua orang untuk diriku sendiri, mereka semua belain kamu."

"Kamu mau pamer kalau kamu itu dikelilingi kasih sayang sedangkan aku dibenci banyak orang?"

Aku sampai menghela nafas berkali-kali supaya emosiku mereda. Selama terjebak dalam tubuh Liz, aku sudah banyak mendengar hujatan yang ditujukan untukku. Mulai dari Rey yang semakin membenciku, sampai Helix yang ingin membunuhku. Belum lagi aku jadi saksi nyata pengkhianatan dua orang dayang kurang ajar itu. Kedepannya apalagi?

"Cepat bangun dan kita ngerasaain sakit hati sama-sama," ucapku lagi sambil menyentuh tubuhku sendiri. Tapi tidak terjadi apa-apa.

"Kalau nggak mau bangun, kembaliin badanku. Kalau mau koma, di badanmu sendiri, Bego!" umpatku pada tubuh Ivy seolah-olah Lizzy yang ada di dalam sana bisa mendengarnya.

Sekali lagi aku menghela napas berat, percuma aku menyentuh tubuhku sendiri, tidak ada keajaiban yang terjadi. Lebih percuma lagi aku mengumpat di depan tubuh itu, toh Lizzy tidak akan mendengarnya. Mataku langsung menangkap bunga yang ada dalam vas di nakas samping ranjang.

Seketika aku langsung memperhatikan ruangan ini. Sepi. Sangat berbeda jauh dari ruangan Lizzy. Di kamar inap Lizzy ada sepuluh buket bunga dari tamu yang menjenguk dan berbagai macam bingkisan buah. Hampir setiap saat ada saja tamu yang datang, baik itu teman-teman Lizzy ataupun teman orang tuanya. Sementara kamar ini sepi. Hanya ada bunga dalam Vas.

Aku menyentuh bunga itu. Indah, wangi dan kelihatan mahal. Satu-satunya bunga yanga ada disini, itu artinya satu-satunya orang yang peduli pada seorang Ivy.

"Itu dari Tuan besar," ucap Bi Sumi yang sudah berada di belakangku. Sepertinya dia memperhatikanku memegang bunga itu sambil melamun.

"Tuan selalu menggantinya setiap hari walaupun bunga dalam vas itu masih segar," cerita Bi Sumi yang sekarang meletakkan humidifier di nakas samping ranjang tubuh Ivy.

"Tuan sendiri yang memilih bunganya," tambah Bi Sumi lagi yang membuatku mengamati bunga itu. Sepertinya Ayah menyesuaikannya dengan seleraku, kebanyakan bunganya berwarna merah. Warna favoriteku.

Satu pertanyaanku, kenapa Ayah begitu peduli?

"Nona Ivy juga suka humidifier, ini aroma favoritenya," ucap Bi Sumi lagi saat aku menghirup aroma lavender dan sandalwood dari humidifier itu. Bi Sumi benar, ini aroma favoriteku.

"Nona Ivy bilang humidifier ini bisa melembabkan kulitnya juga. Dia pasti benci kalau kulitnya kering," lanjut Bi Sumi lagi.

Lalu mataku tidak sengaja melihat benda-benda disamping humidifier itu. Semua skincare yang biasa aku pakai ada disana.

"Ah, bibi juga berusaha selalu ngasih skincare ini untuk kulit Nona Ivy. Dia benci kalau kulitnya rusak. Walaupun Bibi harus cari tahu urutan pemakaiannya, ribet, jenisnya banyak banget," ucap Bi Sumi sambil mengulas senyum sumringah.

"Jangan lupa kasih body lotion juga, Ivy bakalan marah kalau kulit tangan dan kakinya kering," tambahku. "Jangan lupa kasih parfume juga, dia paling suka Lancome la vie est belle. Dua kali seminggu kasih sheet mask di wajahnya."

Tidak lucu kalau seandainya aku bangun dalam tubuhku sendiri dan kulitnya kering. Kelamaan koma membuat tubuhku itu tidak mendapatkan asupan skincare yang benar. Sial.

Secret Change {Proses Penerbitan}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang