Berkat Jeslyn yang ternyata mahir mengelabui, akhirnya si tikus kecil kurang ajar ini tertangkap. Venya sekarang berada di hadapanku, menunduk sambil menautkan kedua tangannya yang gemetar. Aku tahu dia takut padaku, ditambah lagi Helix yang sudah seperti pengawal yang mengawasi pintu ruang kelas supaya tidak ada yang masuk. Venya mungkin bisa kencing di celana kalau kami intimidasi selama satu jam ke depan.
"Maaf, Liz, maaf," lirih Venya yang langsung bersujud di hadapanku. Suaranya bergetar dan air matanya mengalir. Padahal aku belum mengatakan apa-apa.
"Maaf Liz, maaf Liz. Aku terpaksa melakukannya," kata Venya yang tidak berani melihat wajahku.
Aku berjongkok di hadapan Venya, lalu menarik dagunya supaya bisa melihat wajahnya. Seperti yang aku duga, wajah itu berantakan, penuh jejak airmata dan matanya syarat akan rasa takut.
"Kalau bicara, tatap mata lawan bicaramu, bego!"
Bukannya mengindahkan kata-kataku, Venya malah mengalihkan pandangannya ke segala arah supaya tidak beradu tatap denganku.
"Lihat mataku, bego!" aku menarik dagu Venya, memaksanya melihat mataku.
Yang terjadi selanjutnya dia malah menangis tersedu-sedu. "Maaf, Liz. Tolong jangan sakiti aku. Tolong!" lirihnya ketakutan.
Aku menghela napas. Aku masih memegang dagunya dia sudah setakut itu, bagaimana kalau aku memberikan tamparan?
"Hell, enaknya anak ini diapain?" tanyaku pada Helix yang berdiri sambil bersidekap dada di balik pintu.
"'Pukul aja kepalanya pakai enlemeyer, supaya impas," kata Helix.
Venya langsung bersujud kembali. "Jangan, Liz, aku mohon jangan."
"Aku...aku...aku bakalan ngelakuin apa aja asal kamu nggak lukai aku. Aku janji Liz."
"Apa aja?"
Venya mengangguk.
Aku meraih bahu Venya, lalu memaksanya duduk di hadapanku.
"Kamu bilang mau ngelakuin apa aja, sekarang aku tagih janjimu."
"Kamu cukup jawab semua pertanyaanku."
Venya mengangguk lemah, dia menautkan kedua tangannya, aku bisa melihat jemarinya gemetar. Sebenarnya apa yang pernah Liz lakukan pada gadis culun ini? Aku bisa menebak kalau gadis ini bukan sekedar takut pada Liz, dia trauma.
"'Pertama, kenapa kamu takut sama aku?"
Venya menunduk dalam, air matanya mengalir terus, dia mengusapnya berkali-kali. Lalu menjawab pertanyaanku dengan terbata-bata.
"Aku...aku...aku takut di pukuli, aku takut disakiti, aku takut dibentak," suara Venya bergetar saat menjawab semuanya dengan jujur. "Liz, aku mohon, jangan pukuli aku lagi, sakit Liz. Aku takut."
Mendengar jawaban itu aku langsung menatap Helix, meneliti ekspresinya apakah dia tahu kelakuan Lizzy selama ini. Aku tahu Lizzy orang yang bermuka dua. Baik di depan semua orang tapi sebenarnya picik. Tapi aku tidak tahu dia suka melakukan kekerasan fisik. Seperti yang aku katakan tadi, Venya bukan sekedar takut, dia trauma.
Aku menepuk bahu Venya, dia langsung terkejut. Aku baru menepuk bahunya saja dia sudah takut. Gadis ini benar-benar trauma.
"Apa orang ini sering mukuli kamu?" tanyaku sambil menunjuk wajahku sendiri.
Venya mengangguk mengiyakan tanpa melihat wajahku.
"Seberapa sering dia mukuli kamu?"
"Hah!?" Venya sepertinya mulai bingung karena aku menyebut Liz dengan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Change {Proses Penerbitan}
Teen FictionNomor peserta : 087 Tema yang diambil: Mental Health Ivy memiliki segalanya, kecuali hati tunangannya sendiri, Reynard. Harta yang berlimpah, paras yang bagaikan Dewi dan otak encer ternyata tidak bisa menarik hati Reynard. Ivy selalu ingin menjad...