48. Two Weeks

399 77 4
                                    

"Liz, kita ke kantin, yuk!" ajak Jeslyn yang langsung mengamit tanganku.

Aku menepis tangannya dan menggeleng kuat, "Makanan kantin nggak higienis, sorry to say, makanan disana bukan seleraku."

"Liz, dulu kamu penggemar bakso di kantin, loh."

"Liz yang dulu beda sama Liz yang sekarang," sergahku.

"Sangat berbeda," Jeslynpun membenarkan.

"Thanks udah peka sama perubahanku."

"Tapi bukan berubah makin baik. Makin aneh, tahu. Nggak mau makanan kantin, suka shopping, dan lebih perhatian sama Helix."

"Jes, mau ngajak gelut?"

"Nggak, aku ke kantin kalau gitu," ucapnya yang langsung berdiri dan kabur dari hadapanku.

Sementara aku melirik ke satu kursi yang berpenghuni. Tempat dimana si murid baru duduk sambil melihat sekitar kelas. Saat matanya bertemu dengan orang lain dia langsung menunduk dalam. Benar yang aku katakan, gadis Bernama Venya itu jauh lebih membosankan dibanding Jeslyn.

Aku akhirnya berinisiatif menyapanya duluan. Selamat Venya, kamu jadi orang pertama yang disapa langsung oleh Ivy. Biasanya aku malas bicara dengan orang baru, apalagi yang tidak menarik seperti Venya.

Semakin di dekati dia semakin aneh. Saat aku berdiri dihadapannya dia menunduk semakin dalam, terlihat seperti hampir menggulung diri. Tangannya yang dia letakkan di atas meja terlihat gemetar. Padahal aku belum melakukan apa-apa.

"Hai, kita udah pernah ketemu sebelumnya," sapaku dan dia semakin menundukkan kepala seperti orang bodoh.

"Ingat nggak? di Departement Store, kita nggak sengaja tabrakan."

Dan akhirnya dia tiba-tiba berdiri. Menyandang tasnya dan tetap menundukkan kepala. Tangannya memegang erat tali ransel yang dia sandang seperti orang yang ketakutan.

"Ma..maaf, aku udah janji nggak bakalan muncul depanmu lagi."

"Hah?"

Aku masih bengong mendengar kata-katanya yang seperti gumaman. Dia langsung berlari ke arah pintu dan menghilang begitu saja.

Aneh.

Tapi aku jauh lebih aneh karena berusaha mengejarnya. Aku harus bertanya dengan jelas. Kenapa dia menghindariku? Kenapa dia terlihat ketakutan saat melihatku? Padahal dia sama sekali belum melihat wajahku. Dia lari seperti orang yang melihat hantu di siang bolong.

Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus bertanya kenapa dia selalu menghindariku.

Tapi saat aku berusaha mengejarnya di koridor yang penuh dengan murid-murid istirahat, seseorang muncul menarik tanganku dari belakang dan memutar tubuhku supaya menghadap ke arahnya.

Rey. Dia muncul dengan senyum sumringah seperti telah menemukan Tuan Putri yang kabur dari Istana.

"Dua tiket untuk nanti malam," ucapnya sambil memamerkan dua tiket film di tangannya.

"Movie date," ucapnya dengan riang.

"Aku jemput jam delapan malam. Dandan yang cantik tapi jangan terlalu cantik, aku nggak mau semua mata melirik ke kamu. Cukup aku aja yang boleh memandang kecantikan kamu," kata Rey sambil mengedipkan mata. Lalu dia berlalu begitu saja setelah melambaikan tangan.

Aku tidak peduli dengan tiket film yang dia berikan. Mataku langsung tertuju ke koridor, mencari jejak Venya diantara hiruk-pikuk jam istirahat. Tentu saja hasilnya sia-sia. Gadis aneh itu menghilang, menyisakan jutaan tanya di hatiku.

Secret Change {Proses Penerbitan}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang