58. Tangisan Ayah

543 80 1
                                    

Ayah memelukku dengan hangat. Baru kali ini aku merasakan pelukan dari Ayah. Bahunya bahkan bergetar dan dia mengeluarkan airmata. Aku mendengar suara tangisannya dalam pelukanku.

"Putriku," lirihnya di tengah tangis.

Aku butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi. Aku kembali ke tubuhku. Aku kembali menjadi Ivy.

"Putriku sudah bangun," ucap Ayah lagi.

Aku meneteskan air mata. Tidak tahu apa alasannya air mata itu keluar antara senang karena aku kembali ke tubuhku dan terharu dengan panggilan Ayah. Dia menyebutku Putrinya. Dia menangis dalam pelukanku.

"Putriku sudah bangun," katanya sekali lagi.

Lalu dia melepas pelukan kami. Dan dia melakukan hal yang paling tidak aku duga, Ayah mengecup keningku dengan lembut. Lama, sampai aku menutup mata untuk merasakan kehangatan yang di berikan Ayah. Baru kali ini aku merasakan kasih sayang dari seorang Ayah.

Aku memeluk Ayah. Mengucapkan rasa terimakasih dari pelukan itu.

"Ayah, aku kembali," ucapku.

Astaga! Kenapa setelah mengatakan itu aku merasakan pusing yang teramat sangat di kepalaku. Telingaku berdengung dan aku tidak bisa mendengar apa-apa. Aku hanya merasakan pelukan Ayah dan airmatanya yang membasahi bahuku. Pandanganku kembali gelap.

Sial.

Kalau terus seperti ini aku akan hilang kesadaran.

Ivy, buka matamu.

Bertahan.

Sial. Rasa sakit dikepalaku semakin menyiksa. Sampai akhirnya semuanya benar-benar gelap. Aku tidak bisa mendengar apapun. Pelukan Ayah juga sudah tidak terasa. Apa yang terjadi?

Bangun Ivy.

Bangun.

Bangun Bego!

Dan aku memaksa mataku terbuka. Napasku tercekat. Berhasil. Mataku kembali terbuka. Kepalaku memang masih terasa berat namun tak sesakit yang terakhir kali. Napasku tersenggal dan aku meraup semua oksigen yang ada.

Aku melihat langit-langit berwarna putih, aroma obat-obatan yang khas. Aku langsung melihat ke arah nakas disampingku. Kosong. Tidak ada bunga mawar merah. Ayah, dimana Ayah?

"Liz," seru seseorang yang mendekat ke arahku.

Apa aku salah dengar?

"Sayang, kamu udah siuman," Rey muncul dan langsung memelukku. Seerat Ayah memelukku tadi.

Aku kembali menjadi Lizzy?

Sial. Sial. Sial.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa tadi Cuma sekedar mimpi? Aku masih ingat hangatnya dekapan Ayah. Suara Ayah. Dan juga tangisan Ayah. Aku juga menangis haru. Kenapa aku kembali ke tubuh gadis sialan ini?

"Sayang, kasih tahu aku siapa yang udah buat kamu begini?" tanya Rey setelah melepas pelukannya. Lalu dia memeriksa tubuhku yang penuh dengan luka lebam.

"Rey," lirihku.

"Iya, sayang?" jawabnya sambil membelai wajahku. "Apa ada yang sakit?" tanyanya dengan suara yang lembut.

Lalu mataku mengarah pada laki-laki yang duduk di sofa sambil memperhatikanku. Helix, dia disana, Cuma menatapku dan tidak mengatakan apa-apa.

Tiba-tiba air mataku mengalir. Bukan karena seluruh tubuhku terasa sakit. Aku kecewa, kenapa harus kembali ke tubuh sialan ini.

"Liz, kenapa? Sebelah mana yang sakit?" tanya Rey yang panik karena melihatku menangis.

Aku tidak menjawabnya, aku hanya menangis tersedu-sedu. Rey akhirnya memelukku kembali dan mencoba menenangkanku. Dia mengelus punggungku.

Secret Change {Proses Penerbitan}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang