1 (awal)

14.7K 407 79
                                    

Di dalam kamar yang dominan dengan warna hitam, seorang pemuda berdiri di depan cermin, sejenak menilai penampilannya. Alih-alih merasa khawatir dengan peraturan sekolah, dia malah merasa bangga melanggar mereka. Lihat saja penampilannya, rambutnya acak-acakan, dasi tidak dipakai, sepatu merah terang yang jelas bertentangan dengan aturan yang mengharuskan warna hitam, dan bajunya yang sengaja dikeluarkan.

Zyandru Bakrie Radeva, yang biasa dipanggil Deva oleh teman-temannya, tersenyum puas.

"Cakep kan gua. Ok, saatnya otw jemput anaknya si Putra," ucap Deva, penuh percaya diri.

Deva melangkah menuruni tangga dengan gaya santainya, menggunakan pegangan tangga layaknya berseluncur. Ayahnya, Mahendra Sabil Al Fahri, hanya bisa menghela napas dan mengamati kelakuan petakilan Deva yang sudah biasa dia lihat.

"Pah, gua otw ya," kata Deva.

"Kagak sarapan dulu?" tanya Fahri, yang sudah lelah menasihati kelakuan anaknya.

"Mau nongkrong dulu di warungnya Bu Rumi sekalian sarapan di sana," jawab Deva santai.

"Berangkat saja sana," kata Fahri dengan nada pasrah.

"Yoi dong. Gua cabut ya, pah," sahut Deva dengan semangat.

"Hati-hati di jalan!" teriak Fahri, mengingatkan.

"Laksanakan!" balas Deva sambil tertawa, memberi hormat sebelum mencium tangan kanan sang ayah.

Deva berlari keluar rumah dengan cepat, bersemangat untuk segera bertemu dengan sahabat masa kecilnya.

Deva mengendarai motor gede pemberian Fahri pada ulang tahunnya yang ke-17 bulan lalu. Dengan kecepatan tinggi, ia menuju untuk menjemput sahabat terdekatnya, Leo. Perjalanan cukup panjang, tetapi akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.

Deva berhenti di sebuah rumah sederhana yang dicat kuning terang, hampir menyilaukan mata jika dilihat dari jauh. Pemilik rumah sengaja memilih warna itu dengan alasan konyol: ingin terlihat mencolok dari kejauhan.

"Yo, mas bro Dev!" sapa Leo, pemuda seumuran Deva dengan ceria.

"Hm," gumam Deva singkat, tanpa ekspresi.

"Ck, ngeselin lu, Dev!" Leo mengomel tidak jelas, merasa terganggu dengan respon Deva yang hanya sebatas deheman.

Deva mengangkat satu alisnya, memperhatikan sahabatnya yang tampak semakin kesal karena sikapnya yang dingin itu.

"Gua Galaksi Leonard Pratama, anaknya tuan Hariz Putra Pratama dan nyonya Aprilia Yuswandari, merasa tersinggung tahu gak!" kata Leo dengan nada kesal.

"Oh," jawab Deva, tetap dengan nada datar.

"Percuma ngomong sama kulkas berjalan," ucap Leo kesal, tak bisa menahan emosi.

Tanpa banyak bicara, keduanya berangkat menuju sekolah dengan motor gede Deva, melaju dengan kecepatan tinggi. Kehadiran mereka di sekolah langsung menarik perhatian semua orang, seisi sekolah pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari dua sahabat yang penuh pesona dan gaya itu.

SMA Angkasa Jasa, salah satu sekolah elit di kota Bandung, memiliki fasilitas yang sangat memadai di setiap jurusannya. Namun, di balik kemewahan itu, ada kekurangan besar yang tak bisa diabaikan: pembulian terhadap siswa-siswi penerima beasiswa. Pihak sekolah seolah menutup mata terhadap masalah tersebut, kecuali Deva. Dia selalu berdiri untuk membela orang-orang yang tertindas di sekolahnya.

"Lihat si pembunuh datang!" terdengar suara ejekan dari belakang.

"Cakep sih, sayang bodoh!" suara lainnya menyusul.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang